"Wajah Represif Negara Dalam Proses Pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Omnimbus Law Cipta Kerja"

Kamis, 01 Juli 2021

Universitas Indonesia

Oleh: Syaikha Aulia 

Mahasiswi Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
 

Secara garis besar, perumusan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Kerja di tengah mencuatnya pandemi Covid-19 di Indonesia sempat ditandai dengan berbagai kontroversi dalam masyarakat.

Pasalnya, pemerintah yang kala itu tengah fokus melakukan testing dan tracing sebagai langkah preventif lebih banyaknya masyarakat yang terkonfirmasi positif Covid-19, namun pada saat yang bersamaan  dikejutkan dengan adanya berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden tengah melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang sebelumnya sudah ditunda pembahasannya. 

Adapun, hal itu diawali dengan tersebarnya surat dari presiden kepada DPR pada tanggal 2 April 2020 tentang draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law di rapat paripurna DPR, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan draf RUU Omnibus Law diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk ditindaklanjuti dan dibahas bersama-sama dengan pemerintah. Bahkan, kemunculan pembahasan ini menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat, terutama kalangan buruh.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah (2020) yang dikutip dalam tulisan Ahdori bahwa terdapat beberapa alasan respon pro dan kontra dari masyarakat, antara lain banyaknya aturan atau regulasi yang tumpang tindih dengan aturan lainnya, sehingga apabila berkaitan dengan EODB (Ease of Doing Business), maka membuat investasi ke Indonesia menjadi terhambat, perkembangan dalam Usaha Mikro Kecil Menengah juga melambat, serta masih banyaknya angka pengangguran sehingga diperlukan menciptakan lapangan kerja dengan masuknya investasi ke Indonesia (Ahdori, 2020).

Kemudian setelah melalui pembahasan dan sempat tertunda pada beberapa bulan silam, RUU Omnibus Law ini akhirnya disahkan bersama-sama antara pemerintah dengan DPR melalui sidang paripurna DPR pada tanggal 5 Oktober 2020. Pengesahan RUU yang dinilai terkesan sembunyi-sembunyi ini yang menyebabkan terdapat respon pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat.

Terlebih lagi, beberapa pihak menilai bahwa pembahasan RUU Omnibus Law dalam masa pandemi Covid-19 ini terkesan terburu-buru dan tidak melihat kondisi saat ini, yang mana seharusnya pemerintah lebih mementingkan kesehatan masyarakat dalam menangani dan mencegah penyebaran Covid-19 daripada membahas RUU Omnibus Law yang kontroversial dan seolah-olah hanya mementingkan kelompok tertentu.

Bahkan, bentuk respon masyarakat terutama kalangan buruh terhadap pengesahan RUU Omnibus Law menjadi Undang-Undang ini yaitu dengan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai provinsi, dimana aksi utamanya dilakukan di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta. Dengan melihat hal tesebut, aparat keamanan dari kepolisian telah bersiap untuk menghadang mobilitas aksi unjuk rasa tersebut, mengingat masih tingginya angka positif Covid-19, dan pada saat yang bersamaan, sejumlah wilayah di Jabodetabek tengah menerapkan Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.

Lebih lanjut, RUU Omnibus Law yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 secara konkret juga tercatat telah menimbulkan diskursus dalam masyarakat Indonesia. Hal ini salah satunya terlihat  tatkala terdapat pro dan kontra yang terjadi baik dari pengamat, akademisi, dan praktisi. Pro dan kontra ini antara lain dari KADIN (Kamar Dagang Indonesia) bahwa menyambut baik dengan alasan adanya kejelasan aturan perizinan yang tumpang tindih.

Kemudian menurut Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Madja (PUKAT UGM) menyampaikan RUU Cipta Kerja terdapat kecacatan dikarenakan dalam proses pembentukannya dilakukan dengan sangat cepat, tertutup, hingga minim partisipasi publik.

Kedua, Ekonom mengatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini memberikan penyederhanaan persyaratan yang bertentangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu, menurut WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) melalui Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial bahwa undang-undang ini mengancam keberlangsungan hutan karena dihapusnya batas minimum kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) bahkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengatakan bahwa selama proses pembahasan mengabaikan ruang demokrasi dan dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga menyimpulkan proses legislasi undang-undang ini menjadi contoh praktik yang buruk yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR (Mukaromah, 2020).

Adapun, penolakan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak hanya datang dari kalangan professional saja tetapi dari kalangan masyarakat sipil bahkan dari mahasiswa. Aksi demo mahasiswa menolak UU Cipta Kerja ini dilaksanakan mulai tanggal 5 Oktober sampai 9 Oktober 2020 kemudian masih berlanjut hingga 20 Oktober 2020.

Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjend. Prabowo Argo Yuwono, aksi tersebut dimulai pada tanggal 5 Oktober 2020 di tiga kota yaitu Jakarta, Sleman, dan Tangerang kemudian pada tanggal 8 Oktober 2020 sudah meluas hingga 34 provinsi dengan jumlah 95 aksi.

Aksi yang dilakukan tersebut tidak sedikit yang mengalami aksi hingga ricuh, seperti yang terjadi di Semarang, Bekasi, Bandung, Banten, Surabaya, Makassar, Jakarta, Yogyakarta, dan Malang (Shalihah, 2020). Aksi demo ricuh tersebut diwarnai dengan kekerasan, seperti yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Hal ini dialami oleh mahasiswa Universitas Pelita Bangsa yang melakukan aksi demo pada tanggal 7 Oktober 2020 di Kawasan Jababeka, Cikarang mengalami kekerasan yang bermula ingin menyampaikan aspirasi namun jalan sudah di blokade oleh pihak kepolisian di kawasan Jababeka.

Menurut Nining Yuningsih yang merupakan salah seorang Humas Universitas Pelita Bangsa mengatakan bahwa berdasarkan keterangan mahasiswa yang mengikuti aksi tersebut hendak menerobos blokade tersebut namun ia menyesalkan dan kecewa karena enam anak didiknya mengalami kekerasan yang menyebabkan luka ringan hingga mengalami luka berat. Luka yang dialami oleh para mahasiswa tersebut antara lain harus dijahitnya kaki dan pelipis, kepala bagian kiri ada yang terluka sehingga harus dijahit, hingga adanya mahasiswa yang harus di operasi karena mengalami pendarahan dan tengkoraknya retak (BBC, 2020).

Selain itu, kekerasan juga terjadi di Makassar yang bermula massa melakukan orasi atau menyampaikan aspirasi di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan kemudian massa memaksa untuk bisa menerobos pagar kantor DPRD yang terkunci rapat dengan mendobrak pagar tersebut namun tiba-tiba ada yang melempar batu ke arah massa dan polisi. Polisi tersebut tidak menerima terhadap aksi tersebut, sehingga polisi berusaha membubarkan massa dengan water canon (Shalihah, 2020).

Kemudian selama mewabahnya pandemi Covid-19, pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (Satgas Covid-19) juga melarang adanya kegiatan berkerumun, membatasi jumlah pengunjung di area publik, dan membatasi mobilitas.

Sisi lain, masyarakat Indonesia tetap mempunyai hak kebebasan berpendapat yang sudah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Masyarakat Indonesia melihat yang dilakukan oleh pemerintah dalam masa pandemi ini terlihat memanfaatkan masa pandemi untuk kepentingan golongan tertentu dan seolah-olah tidak melihat kepentingan banyak orang tetapi ingin terlihat menegakkan aturan dalam masa pandemi Covid-19.

Adapun, hal ini dibuktikan tatkala pemerintah tetap melanjutkan pembahasan hingga pengesahan terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja padahal publik sudah menolak untuk pengesahan saat menjadi rancangan undang-undang kemudian tiba-tiba pemerintah melanjutkan pembahasan tersebut di saat publik sedang panik dan masa masa sulitnya ekonomi di awal-awal pandemi Covid-19.

Hal ini dikarenakan publik berpikir bahwa pemerintah sedang bekerja menlakukan upaya untuk penanganan dan mengatasi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia namun publik dikejutkan dengan adanya pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Bahkan, publik langsung bereaksi menolak pengesahan tersebut dengan melakukan demonstrasi atau menyampaikan aspirasinya di seluruh Indonesia dengan titik pusatnya Di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Istana Negara.

Adapun, aksi tersebut dilakukan oleh berbagai elemen mulai dari mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), hingga serikat buruh. Aksi ini dilakukan beberapa hari dan berasal dari berbagai daerah tetapi pemerintah bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menahan arus unjuk rasa tersebut supaya tidak bergerak ke DPR RI, dikarenakan pemerintah ingin menegakkan aturan adanya larangan kerumunan dan mencegah kluster baru penyebaran Covid-19.

Dalam hal ini, aksi tersebut kemudian terjadi pada tanggal 6-8 Oktober 2020 di seluruh provinsi di Indonesia dan TNI-Polri sudah melakukan antisipasi dan penyekatan agar tidak ada massa dari luar DKI Jakarta yang melakukan pergerakan ke arah Gedung DPR RI.

Pasalnya, rencana awal aksi tersebut mulanya diprediksi akan melibatkan sekitar dua juta buruh yang terdiri dari 10.000 perusahaan yang tersebar di 25 provinsi akan melakukan aksi mogok nasional di lingkungan perusahaan masing-masing namun terdapat juga aksi buruh berupa demo turun ke jalan menyampaikan pendapat dan aspirasi yang menolak Omnibus Law dilakukan di berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Serang, Surabaya dan lain sebagainya. ***