Joni Ahmad
Oleh: Joni Ahmad (Akademisi dan Praktisi SDM di Kepri)
Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18 (1), DPRD mempunyai tugas dan wewenang : a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; dan pada pasal 34 (1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
(2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan. Dengan bunyi pada pasal-pasal tersebut bisa di asumsikan bahwa Kedudukan seorang Pejabat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, hampir setara atau sama dalam kekuasaan otonomi daerah.
Sebab dalam proses pembentukan penyelenggara pemerintahan di daerah, dalam sistem pemilihan nya dilakukan secara bersamaan secara undang-undang, dan jika posisi Wakil tidak ada mendampingi calon kepala daerah, maka secara hukum tidak dapat diselenggarakan pemilihan Kepala daerah, bahkan tidak akan ada Pelaksanaan pemilihan Kepala daerah.
Menyikapi fenomena kepemimpinan Gubernur Kepulauan Riau yakni Ansar Ahmad yang merupakan kader Partai Golkar, yang sudah terpilih sebagai kepala daerah di Kepri setelah didampingi oleh Marlin Agustina sebagai Wakil Gubernur yang diusung oleh Partai Nasdem, sekarang mulai terlihat adanya ketidak harmonisan antara kedua orang pejabat utama di Kepri ini.
Ketidak harmonisan ini terlihat dalam pengambilan sejumlah kebijakan. Ansar terkesan tidak melibatkan wakilnya, karakter pemerintahan dari seorang Ansar Ahmad dinilai sudah berperilaku seperti otoritarian, dan meninggalkan cara-cara demokratis dalam pengambilan keputusan.
Karakter perilakunya tampak lebih dominan berjalan sendirian dalam menjalankan berbagai kebijakan-kebijakan serta mengambil keputusan-keputusan dalam
sirkulasi roda pemerintahan di Provinsi Kepri.
Hal ini tercermin dengan berbagai keputusan Ansar yang banyak tidak diketahui oleh wakilnya Marlin Agustina. Katakan saja sewaktu Ansar membentuk Staff Khusus yang jumlahnya luar biasa banyaknya yakni 18 orang Staff Khusus.
Bahkan terbaru, penunjukan Plh Sekdaprov Kepri, Wakil Gubernur Kepri tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Keputusan itu jelas mendapat respon negatif oleh masyarakat luas, karena hanya melibatkan timses Ansar dan bahkan ada orang dekat Ansar yang merupakan mantan napi koruptor yang dimasuk kan Ansar kedalam tim staff khusus itu.
Hal ini jelas melanggar etika penyelenggaraan pemerintahan dengan spirit reformasi dan sistem otonomi daerah, yang lebih bersifat demokrasi berdasarkan konstitusi, sebagai landasan utama dalam melaksanakan amanah rakyat.
Dalam menjalankan tugas-tugas sebagai kepala daerah, seorang Gubernur wajib hukumnya
untuk merumuskan segala kebijakan dan keputusan secara bersama-sama dengan wakilnya dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Melihat perilaku dan tindakan Ansar Ahmad selaku seorang Gubernur yang selalu tidak melibatkan Wakil nya Marlin Agustina dalam bentuk konsolidasi dan musyawarah mufakat, sebelum memutuskan sebuah kebijakan daerah, dan bahkan untuk menyusun para personil pembantu mereka dalam formasi organisasi pemerintahan daerah, yang mestinya harus didasari oleh kesepakatan bersama, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ansar Ahmad tidak konsisten dalam menjalankan amanah rakyat dan mengimplementasikan sistem pemerintahan secara demokratis.
Hal ini mencerminkan bahwa kapabilitas atau kemampuan manajemen kepemimpinan atau Leadership Ansar sangat lemah, dan dengan kebiasaan buruk yang tidak mau melibatkan partner kekuasaannya yakni Wakil Gubernur dalam merumuskan berbagai hal untuk kepentingan masyarakat Kepri tersebut, maka jelas Ansar tidak peduli dengan spirit otonomi yang telah memberikan delegasi kekuasaan dengan satu paket utuh, yakni kekuasaan bersama dengan wakilnya yang tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan penyelenggaran pemerintahan daerah.
Dengan karakter Ansar yang seperti ini, maka tanpa disadarinya akan menimbulkan ketidak harmonisan dalam pelaksanaan tata pemerintahan di Kepri. Dan hal ini tentunya sangat berbahaya sekali dalam membangun kepercayaan masyarakat Kepri terhadap pemerintah daerah.
Apalagi dalam hal ini masyarakat Kepri memilih mereka bukan atas dasar hanya seorang Ansar Ahmad saja, akan tetapi dalam satu kesatuan dengan sosok seorang Marlin Agustina, yang juga mendapat dukungan masyarakat luas di Kepulauan Riau dan para loyalis Marlin, yang ikut serta memenangkan pasangan ini secara signifikan.
Jika Ansar Ahmad tidak merubah pola kepemimpinan nya dalam menjalankan roda pemerintahan yang terkesan One Man Show, yakni dengan tidak mau melibatkan wakil nya dalam berbagai kebijakan dan
keputusan manajemen pemerintahan di Provinsi Kepulauan Riau, maka dapat dipastikan kedepan nya Ansar akan mendapatkan antipati dari sebagian masyarakat di Kepulauan Riau, dan tentunya juga dari sebagian politisi di legislatif selaku pendukung Marlin.
Situasi keretakan dan polarisasi kekuasaan di Kepri ini juga meresahkan para pelaku ekonomi dan investor yang menginginkan pengelolaan pemerintah yang harmonis dan sinergi. Pelaku usaha khawatir dengan ketidak harmonisan tersebut tentunya dapat berakibat menghambat berjalannya berbagai pelayanan pemerintah daerah Kepri yang masih sibuk dengan perpecahan antara para pimpinan.
Jika Ansar tidak merubah Pola Leadership yang dia jalankan saat ini, tentunya sudah dapat dipastikan akan berdampak kepada terhambatnya kesuksesan berbagai strategi yang dicanangkan oleh pemerintahan daerah Provinsi Kepri kedepannya, dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau. ***