TRANSKEPRI.COM, Beragam pajak diberlakukan pemerintah kolonial seiring berkembangnya aktivitas ekonomi. Dari pajak garam, ikan, penyembelihan hewan, hingga pertunjukan wayang.
Pada awal munculnya kolonialisme di Jawa, pemerintah kolonial belum memiliki birokrasi yang stabil untuk mengatur sistem perpajakan tanah jajahan. Mereka kemudian meneruskan sistem pajak tanah dan tenaga kerja yang telah dipakai sejak era kerajaan.
Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada Abdul Wahid dalam Dialog Sejarah “Pajak Zaman Kolonial” di saluran Youtube dan Facebook Historia, pemerintah kolonial melakukan apropiasi terhadap sistem pajak tanah bagi para petani yang diterapkan oleh kerajaan-kerajaan terdahulu.
“Jadi memanfaatkan struktur sosial-politik yang ada, khususnya berkait dengan pajak, kemudian diintegrasikan dengan sistem administrasi yang ingin mereka bangun,” jelas Wahid.
Wahid mencontohkan, Kerajaan Mataram adalah salah satu bentuk negara tradisional yang menerapkan pajak tanah dan tenaga kerja. Kerajaan yang berdiri di wilayah pedalaman ini mengandalkan pajak tanah dan tenaga kerja karena merupakan negara agraris. Pertanian menjadi aset penting yang bisa dijadikan objek pajak.
Selain tanah, tenaga kerja juga termasuk dalam kategori pajak yang diterapkan kerajaan. Misalnya dalam satu acara yang digelar kerajaan, rakyat harus ikut urun tenaga dalam melaksanakan acara tersebut. Sistem pajak tanah dan tenaga ini kemudian dipakai pemerintah kolonial dalam cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang dipelopori Van den Bosch.
“Jadi tanam paksa itu dibangun di atas pajak atas tanah dan tenaga kerja, petani. Petani itu diwajibkan menanam seperlima dari tanah mereka untuk menanam tanaman ekspor. Kemudian seperlima dari waktu mereka untuk memeliharanya,” terang Wahid.
Kala itu, Abdul menjelaskan, birokrasi pemerintah kolonial masih kecil dan memerlukan biaya besar untuk mencapai tujuan-tujuan finansial politik. Alhasil, mereka memanfaatkan sistem yang telah ada serta menguasai para elit lokal agar bekerja untuk kepentingan kolonial.
Belakangan, Thomas Stamford Raffles memperkenalkan sistem land rent atau sewa tanah. Meski berdalih sewa, land rent sebenarnya sama juga dengan pajak tanah. Raffles hanya berusaha membentuk pola pikir bahwa petani sebenarnya boleh menguasai tanah tetapi harus membayar sewa kepada pemerintah kolonial.
“Persoalan yang seringkali muncul adalah cara penghitungan, kemudian pengukurannya, alokasi yang harus dilakukan dan dibayarkan. Itu yang tidak jelas,” jelas Wahid.
Sistem pajak tanah yang rentan itu kemudian menimbulkan manipulasi oleh para elite. Misalnya, ketika petani diwajibkan bekerja seperlima dari jam kerja, mereka bisa bekerja hingga seharian penuh. Keuntungan berlebih kemudian masuk ke kantong-kantong pribadi para elite.
Selain pajak tanah dan pajak tenaga kerja, pada abad ke 19 bermacam-macam pajak muncul seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Selain pajak konsumsi opium, ada pajak tembakau hingga pajak penyembelihan hewan.
Objek-objek tersebut kata Wahid berada dalam sistem pachtstelsel atau farming revenue. Sistem ini memungkinkan kelompok swasta mengambil pajak dengan menggunakan lisensi yang telah dilelang sebelumnya.
“Lisensi itu ditawarkan dalam sebuah auction atau lelang. Jadi nanti penawar paling tinggi akan mendapat lisensi itu,” papar Wahid.
Dengan lisesnsi tersebut, seseorang bisa mengumpulkan pajak pada komoditas tertentu di daerah tertentu. Mereka kemudian harus menyetorkan pajak tersebut secara rutin setiap bulan. Sistem ini kemudian menyebabkan monopoli swasta di wilayah tertentu yang mengkhawatirkan pemerintah kolonial.
Pajak lainnya adalah kleine verpachte middelen atau pajak-pajak kecil. Pajak-pajak kecil ini dikenakan pada beragam komoditas hingga pekerjaan yang menghasilkan uang. Menurut Wahid, ada sekira 15 atau 16 objek yang dikenakan pajak di Pulau Jawa saat itu. Mulai dari pegadaian, pembuatan garam, ikan, minuman keras, judi, hingga pertunjukan wayang. Jumlahnya meningkat pada awal abad ke-20 hingga kemunculan pajak penghasilan.
“Negara kolonial itu sangat rakus. Jadi dia di mana melihat sebuah aktivitas ekonomi yang bernilai tinggi, maka dipajaki,” ujar Wahid.
Pemungut pajak swasta kala itu didominasi orang Tionghoa. Karena khawatir monopoli yang terjadi di daerah, pemerintah kolonial akhirnya mengambil alih pemungutan pajak. Tujuannya agar pajak terkontrol dan keuntungan tidak bocor ke kantong pribadi.
Sepanjang era kolonial, pembayaran pajak oleh rakyat sangat minim timbal balik dari pemerintah kolonial. Tidak ada upaya pemerintah untuk mengembalikan pajak dalam bentuk fasilitas publik maupun pelayan publik yang setimpal.
Layanan pemerintah yang ada pun biasanya bersifat eksplotatif alih-alih murni pengembalian atas pembayaran pajak. Ketika wabah melanda, misalnya, vaksin diberikan bukan karena pemerintah peduli pada kesehatan masyarakat, melainkan agar masyarakat bisa terus bekerja.
Kesadaran balas budi baru muncul awal abad ke-20 dengan Politik Etis. Meski masih terbatas dan segregatif, pemerintah kolonial mulai memberikan fasilitas kesehatan hingga pendidikan sebagai balas budi.