Syuzairi
TRANSKEPRI.COM.BATAM- Pro dan Kontra atas keberadaan "Ex-Officio" Kepala BP Batam saat ini, mengganggu Iklim Investasi. Sehingga menjadi suatu polemik yang harus itu diluruskan, terhadap keberadaannya di Batam
dan menjadi perhatian dari banyak
kalangan. Mantan Pengiat Otonomi Daerah, M. Syuzairi menerangkan, tanggal 15 Mai ini merupakan momentum atas keberadaan Walikota Batam sebagai Ex-Officio, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam.
"Sikap pro dan kontra atas adanya kebijakan Pemerintah yang sudah menempatkan Ex- Offisio sebagai pengendali pembangunan saat ini telah mengarah pada kepentingan politik sehingga terganggu kepada iklim investasi di Kota Batam, dan Kepri," kata M. Syuzairi.
Dan pandemi covid 19 yang terjadi saat ini, ungkapnya, dirasakan dari banyak negara dan bukan hanya di Batam saja, namun secara global.
"Melainkan Wabah Covid 19, telah secara global. Sehingga Batam ini yang merupakan salahsatu daerah khusus yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai "Wilayah Free Trade Zona (FTZ), serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), juga turut terkena dampaknya," ucap Mantan Asisten II Pemko Batam ini.
Namun, terang Syuzairi, terhadap
momentum 15 Mei 1999 - 15 Mei 2021, kitapun menilai bahwa tidak ada satupun klausul dari pendapat masyarakat, yang telah dihasilkan di dalam kesimpulan musyawarah yang menginginkan bahwa daerah Batam, mendapat julukan dengan Kawasan Perdagangan Bebas dan Kawasan Pelabuhan Bebas.
"Semua terkesan Ambigu dengan semangat Otonomi Daerah, untuk lebih mengedepankan atas peran gubernur, bupati beserta walikota agar lebih amanah dan konsisten di dalam mempraktekan Otonomi Daerah yang diberikan secara luas dengan mitra DPRD daerah," ucap
Mantan Pengiat Otonomi Daerah.
"Bahkan, apa yang dipertontonkan kepada masyarakat, dengan telah munculnya suatu surat dari DPRD Provinsi Kepulauan yang ditujukan langsung ke Bapak Presiden, telah menimbulkan kekisruhan maupun muncul pro kontra," ungkapnya.
Idealnya itu, imbuhnya, yang harus menyurati penolakan terhadap Ex-Offiso itu ialah DPRD kota sebagai mitra, dalam fungsi pengawasan.
"Artinya, DPRD kota sebagai mitra
dalam fungsi pengawasan, sudah berseberangan. Lantaran, walikota dinilai telah mengabaikan otonomi
daerah, dengan konsep yang lebih besar," terang Syuzairi.
Akibatnya, ungkap Syuzairi, peran dari pemerintah ini daerah dengan DPRD Batam, sebagai pemegang Amanah Otonomi Daerah, di Kota Batam tak berjalan sebagaimana semestinya.
"Tapi ini sebaliknya dengan posisi Ex-Officio, Walikota mengabaikan fungsi kemitraanya dengan DPRD Batam. Sehingganya, malah lebih membesarkan BP Batam. Hingga kesan inilah yang telah muncul di masyarakat saat ini," kata Syuzairi
Kedua, ujarnya, bahwa munculnya Ex-Offisio harus kita lihat sebagai proses yang lahir dari perdebatan panjang di mulai saat Pemerintah Kota Batam, merasa tidak mampu menjalankan sebuah kewenangan wajib termasuk untuk pertanahan.
"Akibatnya ialah, banyak program pembangunan daerah terhambat. Sehingganya masih terkesan ada dualisme kewenangan di Batam," ungkap Syuzairi.
Kalaulah protes berbagai pihak itu berkaitan dengan Ex-Offisio, ucap Syuzairi, dan mengingati walikota untuk dapat kembali memperkuat Otonomi Daerah, dengan langkah mengedepankan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah, tentunya bisa menjadi lebih baik.
"Diantaranya itu ialah, melakukan inventarisasi semua asset daerah, serta menghilangkan sama sekali tugas, maupun fungsi yang sama. Dengan demikian, kesan tumpang tindih tersebut agaknya tak dapat dibenarkan," papar Syuzairi.
Menurutnya membahas Ex-Offisio yang dikait kaitkan dengan kurang ataupun takadanya investasi yang masuk ke Batam, di saat Pandemi Covid 19 ini barangkali kurangpas
"Hampir semua negara terdampak Covid 19. Maka, yang harus dapat di dorong saat ini ialah, agar tetap menjaga iklim investasi. Sehingga tidak terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi upaya mendatangkan investasi juga diperlukan," ungkap Syuzairi.
Menurut Mantan Asisten II Pemko Batam, keterkaitan Ex-Offisio yang diperankan pihak walikota muncul akibat tidak dilanjutkannya proses pembahasan terhadap "Peraturan Pemerintah", dengan memberikan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Kawasan Khusus termasuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, lantaran tidak didapatkan norma baru yang mengatur.
"Maka PP tersebut tak dilanjutkan karena Bupati dan Walikota harus secara konsisten menjalankan UU 23 Tahun 2014. Sehingga, dengan memperhatikan satu kewenangan yang sudah dibagi habis, antara di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, saat itu. Maka dikesimpulan rapat DPOD diserahkan ke Kementerian Perekonomian untuk di bahas dan sejalan dengan tarik menarik atas kepentingan dunia usaha lantaran investor ingin tetap dipertahankan FTZ tersebut," paparnya.
Maka diambillah satu jalan tengah ucap Syuzairi, Walikota Batam Ex-Offisio Kepala BP, supaya sinkron dengan Kewenangan daerah, dan ini salah satu upaya menghindari tumpang tindih maupun hilangkan kesan dualisme tersebut.
"Sebagai catatan, masyarakat pun juga berharap. Dengan adanya PP 41 tahun 2021 Pemerintah Daerah Batam bersama DPRD Batam bisa mempelajari kembali serta jangan terkesan telah mengebiri Otonomi Daerah, yang menjadi Konsensus Nasional. Dan Mementum 15 Mei 1999 - 15 Mei 2021, bisa menjadi alasan untuk dapat merubahnya," pungkas Syuzairi. (wan)