Ketua KADIN Batam, Syamsul Paloh saat rapat konsultasi terkait ex officio di Gedung DPD RI Jakarta
Oleh: Syamsul Paloh (Ketua KADIN Batam)
Pasca diundangkannya PP 41/2021, tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), di mana salah satu poinnya adalah mengintegrasikan kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) ke dalam satu Badan Pengusahaan (BP).
Tak pelak, pihak-pihak yang selama ini patut diduga tidak nyaman dengan keberadaan H Muhammad Rudi menjabat sebagai Kepala BP Batam, sebagai implementasi Wali Kota Batam merupakan ex officio Kepala BP Batam, mulai angkat suara.
Mereka menyebut bahwa ex officio adalah produk gagal, sehingga keberadaannya harus segera dicabut. Bahkan ironisnya, penilaian mereka dinilai tidak objektif dan sarat kepentingan, karena hampir tidak ada menyebut sisi positif dari sebuah produk ex officio serta sederet keberhasilan yang diraih BP Batam sejak berstatus ex officio.
Sepertinya mereka tidak menyadari, bahwa keberadaan ex officio adalah amanah PP 62/2019, yang notabene merupakan produk dari pemerintahan Presiden Jokowi dan berada di bawah koordinasi Menko Perekonomian yang saat ini dijabat, Airlangga Hartarto.
Jika kita mau jujur, dari berbagai kebijakan yang diberikan pemerintah pusat kepada Batam dalam konteks Batam sebagai wilayah KPBPB. Mulai dari namanya dulu Otorita Batam, sampai sekarang bernama BP Batam, ex officio, tak terbantahkan adalah regulasi pusat yang paling berpihak kepada Batam dan rakyat Batam.
Dengan ex officiolah pejabat daerah bisa memimpin di BP Batam di tengah dominasi yang selalu diisi oleh pejabat yang didatangkan dari pusat.
Jika dalam pemerintahan daerah ada yang namanya otonomi daerah dengan semangat utamanya merubah pola pemerintahan yang sentralistik kepada pola desentralisasi yang dijabarkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kemudian terakhir disempurnakan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
Maka ex officio yang dituangkan dalam PP 62/2019, merupakan semangat otonomi daerah dalam versi KPBPB.
Sehingga jika ada pihak-pihak yang alih-alih mensyukuri, justru malah mempermasalahkan ex officio sebagai sebuah produk gagal, adalah sikap yang keterlaluan dan patut untuk dipertanyakan maksud tujuannya.
Patut kita duga, mereka yang menyebut ex officio sebagai produk gagal, hanya segelintir pihak yang mungkin saja tidak berkenan dengan figur yang saat ini menjabat Kepala BP Batam. Atau bisa saja ada kepentingan politik maupun kepentingan bisnisnya yang tidak terakomodir.
Namun, alangkah ironisnya jika benar ketidaksukaan kepada seorang figur, atau karena kepentingan secara bisnis terganggu, justru harus mengorbankan sebuah produk ex officio, yang seharusnya diperjuangkan untuk terus dipertahankan. Paling tidak kita pertahankan sampai 2024 atau sampai masa jabatan Wali Kota Batam periode ini berakhir.
Belajarlah kita kepada pepatah bijak, bahwa jika buruk muka jangan cermin dibelah dan bila ada tikus di lumbung padi, janganlah lumbung dibakar.***