Judul: Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer. Penulis: Roso Daras. Penerbit: Imania. Terbit: 2010. Tebal: xxiv + 178 halaman.
Bukan hingar-bingar politik tapi sisi sisi lain dari kehidupan Sukarno yang terkesan remeh dan terabaikan.
TRANSKEPRI.COM, Suatu hari seorang bapak bersama anaknya dari Maluku menemui Sukarno di istana. Ketika bertemu, si bapak memberikan seekor burung Nuri Raja khas maluku yang elok dan langka.
“Jadi, Bapak menyerahkan burung ini kepada saya? Saya boleh berbuat apa saja kepada burung ini?” tanya Sukarno.
“Ya, Pak, terserah Bapak mau apakan burung itu.”
Tanpa dia duga Sukarno memerintahkan pengawal melepaskan burung itu dari sangkarnya.360p geselecteerd als afspeelkwalite
“Pak, burung itu akan lebih senang bila bisa terbang bebas. Biarkanlah ia merdeka.”
Itulah salah satu kisah yang terdapat dalam buku ini. Melalui kisah itu, Roso Daras menyampaikan pesan bahwa Sukarno adalah sosok pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan manusia.
Dari seorang wartawan, Roso Daras menjadi seorang penggandrung pemikiran Sukarno. Ini berawal dari liputan jurnalistiknya ke Kamboja dan China. Di kedua negara itu, dia mencatat betapa besar pengaruh Sukarno. Raja Kamboja Norodom Sihanouk menghormatinya. Di China? Apalagi, karena Sukarno begiru dekat dengan Mao Tse Tung dan Chou En Lai. Kegandrungannya pada Sukarno dia tuangkan dalam tulisan-tulisan di blog. Umumnya berisi serpihan sejarah, yang kemudian diterbitkan jadi buku.
Seperti judulnya, buku ini memuat kisah-kisah ringan di balik cerita besar perjalanan hidup Sukarno. Simak saja, misalnya, bagaimana sisi “Don Juan” Sukarno dalam menaklukan empat noni Belanda. Saat itu, dia duduk di bangku Hogere Burger School (HBS) atau setingkat SMA. Pauline Gobee, putri guru Sukarno di HBS, menjadi gadis Belanda pertama yang dipacarinya. Sukarno tergila-gila oleh kecantikannya. Berikutnya, Laura dan seorang gadis dari keluarga Raat yang Sukarno lupa namanya. Tapi yang paling dikenang Sukarno adalah Mien Hessels. Saking cintanya, Sukarno nekat mendatangi rumah keluarga Hessels.
“Tuan, kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak Tuan …”
“Kamu? Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku? Keluar kamu binatang kotor, keluar!” bentak ayah Hessels.
Sejak itu Sukarno tak pernah lagi bertemu dengan Hessels.
Pada 1942, ketika Sukarno telah menjadi tokoh yang disegani, seorang perempuan bertubuh besar dan jelek menyapanya. Tak disangka perempuan itu adalah Mien Hessels, pujaan hatinya dulu. Cinta lama bersemi kembali? “Huuuh! Mien Hessels, putriku yang cantik seperti bidadari, kini berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk dan kotor,” ucap Sukarno seperti dikutip dari Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.
Kegandrungan dan kecintaan Sukarno kepada perempuan memang bukan rahasia lagi. Kepada Cindy Adams, Sukarno secara blak-blakan mengatakan, “Aku menyukai gadis-gadis yang menarik di sekelilingku. Gadis-gadis ini bagiku tak ubahnya kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang.”
Kisah menarik lainnya tentang cover majalah Time, yang menggambarkan sikap politik Amerika Serikat terhadap Indonesia setelah kemerdekaan dan pada akhir 1950-an. Dalam cover Time edisi 23 Desember 1946, Sukarno ditampilkan sebagai sosok orator ulung, berpeci hitam, garang, dan heroik, dengan latar gambar kibaran bendera merah-putih dan kepalan tangan sarat luapan semangat. Di dalamnya, Robert Sherood menulis sosok Sukarno sebagai pria gagah dan tampan, pandai berpidato, dan mendapat julukan “Si Kamus Indonesia” karena kecerdasan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Penggambaran yang bertolak-belakang terjadi pada cover Time edisi 10 Maret 1958. Wajah Bung Karno digambarkan begitu “menyeramkan”, dengan permukaan wajah bopeng-bopeng, jauh dari penggambaran sosok tampan pada edisi tahun 1946. Gambar cover itu mencerminkan ketidaksenangan Amerika pada sikap politik Sukarno yang lebih condong ke musuh Amerika dalam Perang Dingin: Rusia dan China.
Ada kisah pertemuan Sukarno dengan dua pemimpin revolusi Kuba: Fidel Castro dan Che Guevara. Diceritakan saat iring-iringan mobil kenegaraan Sukarno menyusuri jalan kota Havana, Kuba, tiba-tiba mobil berhenti di tengah jalan, hanya karena sang sopir ingin meminjamkan korek api kepada pemimpin kawal sepeda motor untuk menyalakan cerutu. Begitu tahu bahwa ini menandakan Kuba masih dalam euforia revolusi, Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Ada pula kisah penunjukan Oei Tjoe Tat dalam “Ganyang Malaysia”, pendekatan dan perkawinannya dengan Fatmawati, kesukaannya pada tari lenso, Hotel Indonesia dan Sarinah, atau empat seri detik-detik menjelang kepergian Sang Proklamator. Semuanya diceritakan dengan lugas dan ringan.
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku Bung Karno Serpihan Sejarah yang tercecer: The Other Stories. Kegandrungan Roso Daras pada Sukarno kentara dalam interpretasi yang terkadang lebih memuja ketimbang mengkritisi. Sukarno hampir tak punya cela. Penyajian kisah-kisah secara ringan dan singkat menjadi kelebihan sekaligus kekurangannya; membuatnya jadi enak dibaca dan tak melelahkan tapi melupakan pembaca yang membutuhkan informasi komprehensif tentang suatu peristiwa.
Toh, Roso Daras sadar akan hal itu. Dalam pengantar, dia mengatakan bahwa dia menulis demi memuaskan rasa ingin tahunya tentang sosok Putra Sang Fajar. Dan makin dia mendalami pemikiran Sukarno, makin dia merasa kecil, bodoh, tapi tak membuatnya berhenti memasuki belantara Sukarno.