Armada VOC sebagai sampul buku VOC: A Bibliography of Publications Relating to the Dutch East India Company, 1602-1800 karya John Landwehr.
Setelah berdiri hampir dua abad, VOC dibubarkan. Penyebabnya korupsi dan pemborosan anggaran.
TRANSKEPRI.COM. Tidak kurang dari 290 kapal Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC, Verenigde Oostindische Compagnie, biasa disebut Kompeni) tenggelam di lautan Indonesia. Selain pertempuran dengan kongsi dagang pesaingnya maupun dengan penguasa-penguasa Nusantara, banyak kapal karam karena kelebihan muatan dengan barang dagangan pribadi.
Perdagangan pribadi atau perdagangan gelap merupakan salah satu bentuk korupsi pejabat VOC. Korupsi sebagai penyebab keruntuhan membuat VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh Lantaran Korupsi).
“VOC bangkrut karena perdagangan gelap. Gubernur VOC mestinya berdagang untuk disetor ke VOC di Belanda, tapi dia berdagang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, semua gubernur VOC di sini kaya kaya,” kata Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia, kepada Historia.id.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham, perdagangan pribadi atau perdagangan gelap disebut morshandel (perdagangan kecil). “Sebenarnya tidak kecil karena mereka memakai berbagai fasilitas VOC, seperti kapal, gudang, modal, koneksi, dan lainnya,” tulis Ong dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong.
Seiring meluasnya wilayah kekuasaan VOC, praktik korupsi kian merajalela, mulai dari menyunat uang kas dan anggaran VOC sampai memeras penduduk.
Selain morshandel, menurut Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia, praktik korupsi berupa memotong keuntungan yang menjadi hak VOC (stille winsten), memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih daripada ketentuan (overwichten), sengaja mengajukan target setoran di bawah potensi (spillagie), memaksa penduduk menyerahkan upeti (contributien), dan menerima hadiah dari para penjilat (hommagien).
Misalnya, gubernur Pantai Utara Timur Jawa harus memenuhi target setoran 125 pikul beras buat VOC, tetapi menggelembungkannya menjadi 180-240 pikul. Selisihnya masuk ke dapur sendiri. Sementara itu, seorang direktur (opperhoofd) VOC di Cirebon yang bergaji 60 gulden per bulan, diwajibkan mencari pemasukan untuk kas VOC sebesar 12.000 ringgit per tahun (1 ringgit senilai 2,5 gulden), digelembungkannya menjadi 30.000 ringgit. Dari 17 ribu pikul kopi yang disetor ke VOC senilai 117.000 ringgit, dia menilep 64.000 ringgit. Target setoran itu secara langsung dibebankan ke rakyat.
VOC juga mewajibkan gubernur jenderal setor pemasukan 150.000 ringgit per tahun, residen di Solo 80.000 ringgit, dan residen di Yogyakarta 70.000 ringgit. “Entah berapa yang mereka ambil untuk diri sendiri,” tulis Parakitri.
Dengan korupsi, tulis C.R. Boxer dalam Jan Kompeni, sebagian besar gubernur jenderal berhenti dari jabatannya sebagai orang kaya, beberapa di antaranya jadi jutawan. “Modalnya pasti tidak diperolehnya dari menabung atau berhemat dengan gaji resminya sekitar 600-700 gulden per bulan,” tulis Boxer.
Ambil contoh gubernur jenderal Johan van Hoorn (1704–1709) menumpuk harta 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada 1709, padahal gajinya hanya 700 gulden sebulan. Gubernur VOC di Maluku menumpuk 20.000-30.000 gulden dalam 4-5 tahun, sementara gajinya hanya sekitar 150 gulden sebulan.
Gaji pegawai VOC yang rendah dituding sebagai penyebab korupsi. Seorang juru tulis bergaji bulanan 16-24 gulden dan gubernur jenderal bergaji 600-700 gulden. “Keduanya menghadapi macam-macam godaan, tapi jelas yang tersebut akhir memiliki kesempatan yang lebih baik,” tulis Boxer.
Menurut Ong, latar belakang para pejabat VOC juga menjadi penyebab korupsi. Mereka memiliki motivasi petualangan dan keuntungan. Banyak di antara mereka berasal dari kalangan bangsawan yang “miskin” karena tidak berhak atas warisan. Berdasarkan undang-undang kebangsawanan Eropa hanya anak tertua yang sah yang berhak atas seluruh warisan orangtuanya. Mereka terbiasa hidup mewah, namun kemudian tak lagi memiliki sumber kekayaan untuk mendukung gaya hidupnya.
“Jabatan di VOC, dengan demikian, harus menjadikan mereka kaya raya agar bisa hidup mewah. Tetapi, sebaliknya gaji pegawai VOC rendah sekali sehingga korupsi menjadi kebiasaan pejabat VOC,” tulis Ong. Perilaku pejabat VOC dari kalangan bangsawan itu ditiru oleh pejabat lain yang bukan dari kalangan bangsawan.
Pemimpin VOC di Belanda insyaf bahwa gaji yang mereka bayarkan alakadarnya dan sadar bahwa para pejabat dapat menyedot keuntungan yang besar dari jabatan mereka. Oleh karena itu, pemimpin VOC di Belanda maupun di koloni menjual jabatan. “Demikian besar kemungkinan melakukan korupsi tanpa pernah dihukum sehingga untuk menjadi karyawan VOC orang rela menyogok,” tulis Parakitri.
Pernah terungkap, pengurus VOC di Belanda memasang tarif sogok selama 1719–1723 sebesar 3.500 gulden bagi yang ingin menjadi onderkoopman (pejabat rendah VOC) yang bergaji 40 gulden per bulan; 2.000 gulden untuk menjadi kapiten; dan 120 gulden untuk menjadi kopral. Bandingkan dengan kenyataan dari 19.000 karyawan pada 1720 cuma 30 orang yang bergaji 1.200 gulden setahun.
Demi jabatan sebagai gubernur VOC di Pantai Utara Jawa, seorang bangsawan Diderik “Dirk” van Hogendorp membayar sekian ribu gulden kepada penguasa VOC di Belanda, gubernur jenderal di Batavia, dan gubernur di Semarang. Ayahnya, pejabat tinggi VOC terkenal sangat korup, tewas tenggelam bersama kapal VOC beserta barang dagangan pribadinya.
“Dengan sendirinya Dirk Hogendorp menganggap jabatannya yang tinggi sebagai barang dagangan,” tulis Ong. Dirk kembali ke Belanda sebagai orang kaya raya dan mengunjungi kakak tertuanya dengan kereta kencana disertai para pengawal. Dia pun dapat menyunting seorang putri dari salah satu kerajaan kecil di Jerman.
Anehnya, Dirk malah menjadi peniup pluit (whistleblower). Menurut Ong, struktur korupsi pejabat VOC pada akhir abad ke-18 dapat kita diketahui dari surat-surat Dirk kepada saudara laki-lakinya, Gijs Bert Karel, yang mengungkapkan perilaku para pejabat VOC di Hindia Belanda.
Penindakan
Pada 25 April 1722, Gubernur Jenderal Hendrik Zwaardekroon (1718–1725), memerintahkan eksekusi mati 24 pejabat rendah VOC yang semuanya Indo-Eropa atau pribumi karena menyelundupkan rempah-rempah.
Namun, hukuman untuk pelaku korupsi tajam ke bawah. “Pelanggar-pelanggar yang tinggi kedudukannya kena hukuman jauh lebih ringan,” tulis Boxer.
Menurut Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, tindakan terhadap pelaku korupsi berkedudukan tinggi hanya dua: memecat atau memutasikannya ke tempat lain. “Seperti yang terjadi pada Hendrik Breton (direktur jenderal perdagangan VOC, red.) yang dimutasikan sebagai gubernur ke Maluku,” kata Margana.
Contoh lain, Gubernur Jenderal Diderik Durven (1729–1732) bersama direktur jenderal dan dua anggota dewan senior hanya dibebastugaskan karena terbukti memeras orang Tionghoa. “Ini menimbulkan sensasi hebat, paling tidak untuk sementara. Tetapi sama sekali mereka tidak dikenakan hukuman mati, dan saya tidak tahu apakah mereka dipaksa mengembalikan barang-barang yang diperolehnya secara gelap,” tulis Boxer.
Ternyata Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737–1741) melakukan hal yang sama selama “minggu berdarah” atau pembantaian Tionghoa pada 1740. Ketika dia ditentang oleh tiga anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) di bawah pimpinan Gustaaf Willem Baron van Imhoff, justru keempat orang itu dipulangkan ke Belanda. Van Imhoff berhasil membela diri di hadapan Heeren Zeventien (Tujuhbelas Tuan) dan kemudian diangkat menjadi gubernur jenderal (1743–1750).
“Dia diperintahkan untuk mencegah korupsi. Kapal yang membawanya kembali ke Batavia sampai dibaptis sebagai De Hersteller (Pemulih), sekadar untuk menegaskan tekad itu,” tulis Parakitri. “Ternyata dia pun cuma bisa melegalisir sebagian korupsi agar bisa memberantas sisanya.”
Ekspedisi Militer
Margana mengatakan bahwa korupsi terjadi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang. Banyak para pejabat VOC di daerah memanfaatkan kekurangan kapal-kapal untuk operasional dagang dengan menggunakan kapal-kapal pribadinya. Demikian juga terjadi mark-up biaya-biaya ekspedisi, baik untuk patroli bajak laut, perang maupun kegiatan operasional dagang. “Tetapi nilainya tidak sebesar biaya-biaya ekspedisi militer dan perang,” ujar Margana.
VOC berurusan dengan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sehingga mereka terlibat dalam berbagai peperangan, baik di Jawa, Sulawesi, maupun Maluku. Puluhan perang ini telah menguras habis kas perusahaan. “Biaya perang dan ekspedisi militer ke berbagai wilayah ini sangat besar, bahkan lebih besar dari pemasukan VOC sebagai organisasi dagang,” kata Margana.
Menurut Mona, ditambah lima kali perang dengan Inggris. “Sebelum tahun 1790, sudah tidak ada lagi kapal ke Belanda karena sudah bangkrut dan Inggris sudah memblokadenya,” ujar Mona.
Kendati keberanian dan kemampuan para perwira angkatan laut VOC tidak diragukan, tetapi masalahnya pada anak buah yang tidak berpengalaman. Sosiolog Belanda, J.C. van Leur, meyakini bahwa korupsi bukanlah faktor utama kemerosotan VOC, karena korupsi di Kongsi Dagang Inggris (EIC) juga sama hebatnya.
“Kelemahan angkatan laut merupakan faktor utama dalam kejatuhan VOC, walaupun dia (Van Leur, red.) melangkah terlalu jauh dengan menyatakan bahwa inilah sesungguhnya yang merupakan satu-satunya sebab keruntuhannya,” tulis Boxer.
Sejak 1744, kelemahan tersebut telah diakui oleh van Imhoff: “Bagaimana keadaan kita yang sebenarnya, saya takut mengatakannya, karena memalukan… apapun tidak ada, kapal-kapal yang baik, anak buah, perwira yang baik, dan demikianlah salah satu cabang yang paling pokok dari kekuasaan Belanda dipertaruhkan.”
Ekspedisi militer telah menguras keuangan VOC sehingga terlilit utang yang sangat besar. Sementara itu, kata Mona, “akumulasi kapital hanya terjadi pada elite-elitenya di delapan kamar dagang. Ketika bangkrut, VOC tidak dapat membayar dividen.”
Pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda menyuntikan pinjaman lewat penerbitan obligasi sebesar 55 juta gulden. Pada 1875, beban utang VOC melonjak menjadi 137 juta gulden. Ada pihak yang menuntut pembubaran VOC, tetapi belum bisa membayangkan pengadaan barang dari Nusantara tanpa perusahaan ini.
Raja Belanda Willem V memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Berdasarkan Pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas milik dan utang VOC. Pengambilalihan resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. VOC resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Menurut Margana, seluruh utang dan aset VOC di seberang lautan termasuk di Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda. Aset-aset VOC di Indonesia yang terbesar adalah teritorial dan bangunan-bangunan yang berada di atasnya. Untuk mengelolanya, pemerintah Belanda menjadikan bekas teritori VOC ini sebagai wilayah koloni yang disebut Hindia Belanda. Sejak itu, tahun 1800, didirikanlah pemerintah kolonial Hindia Belanda.