Kisah Penyair Besar Prancis Pernah Jadi Serdadu di Salatiga

Rabu, 24 Februari 2021

Rimbaud pernah tinggal di Salatiga sebagai seorang serdadu pada 2 hingga 15 Agustus 1876.. (Étienne Carjat/Wikimedia Commons & Andri Setiawan/Historia).

Penyair Arthur Rimbaud pernah bergabung dengan pasukan Hindia Belanda di Salatiga. Kabur setelah dua minggu menjalani kehidupan barak militer.

TRANSKEPRI.COM. Plakat marmer itu terpasang kokoh pada salah satu dinding Rumah Dinas Walikota Salatiga. Warna abu-abunya mencolok di antara pilar-pilar putih rumah bergaya Indis yang pernah didiami oleh asisten residen Salatiga itu. Tulisannya berbunyi: Le poète français ARTHUR RIMBAUD (1854-1891) a séjourné à Salatiga du 2 au 15 août 1876.

Memorabilia ini menandakan bahwa penyair besar Prancis, Arthur Rimbaud, pernah tinggal di Salatiga. Rimbaud menjalani hari-harinya di sini sebagai serdadu antara 2 hingga 15 Agustus 1876.

Sebaris puisi Rimbaud juga disematkan dalam plakat itu. “Aux pays poivrés et détrempés (artinya: “Ke negeri rempah-rempah pedas dan basah”),” demikian bunyinya.

Dari Prancis ke Jawa

Pelabuhan Den Helder, Belanda pada 10 Juni 1876. Kapal Prins Van Orange menarik sauh untuk membawa pasukan yang hendak dikirim ke Jawa. Salah satu di antaranya ialah Arthur Rimbaud sang penyair besar Prancis.

Rimbaud lahir di Charleville pada 24 Oktober 1854. Sejak usia remaja ia telah memenangkan berbagai perlombaan menulis syair. Beberapa karyanya sebelum berlayar ke Jawa antara lain Le bateau ivre (Kapal mabuk), Les illuminations (Pencerahan), dan Une Saison en enfer (Semusim di Neraka). Rimbaud menjadi salah satu penyair yang berpengaruh dalam sastra modern dunia.

Rimbaud mulai gemar berkelana sejak 1874. Petualangannya merentang dari dari kota-kota di Eropa hingga ke benua hitam Afrika. Pada suatu ketika, Jawa menarik perhatiannya.

“Van Dam (sejarawan militer Belanda –red.) menduga, Arthur Rimbaud telah mendengar kisah-kisah tentang Hindia Belanda saat ia tinggal di Antwerpen, juga di Marseille, waktu ia bekerja sebagai kuli pelabuhan,” tulis Bernard Dorleans dalam bukunya Orang Indonesia & Orang Prancis, dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.

Rimbaud lalu mendaftar jadi serdadu Hindia Belanda. Usianya saat itu baru 22 tahun.

Alasan Rimbaud mendaftar sebagai prajurit Belanda masih menjadi perdebatan. Jamie James menyebut dalam Rimbaud in Java, The Lost Voyage bahwa perjalanan Rimbaud ke Jawa merupakan kisah paling tidak jelas dalam riwayat Rimbaud. Yang pasti, Jawa adalah titik terjauh dari perjalanan penyair yang gandrung berpetualang ini.

Kapal yang membawa Rimbaud menurunkan jangkar di Batavia pada 22 Juli 1876. Setelah beberapa hari di Batavia, Rimbaud mendapat pos di Salatiga. Dari Batavia ia kembali berlayar selama dua hari dengan kapal uap Fransen van de Putte menuju Semarang. Dari Semarang, para serdadu melanjutkan perjalanan dengan kereta api.

“Mereka naik kereta, yang memiliki satu gerbong yang didedikasikan untuk orang sakit, menuju suatu tempat bernama Kedung Jati; di sana mereka pindah ke kereta yang lebih kecil untuk perjalanan singkat ke desa Tuntang,” tulis James.

Tuntang-Salatiga berjarak delapan kilometer. Rimbaud dan rombongan jalan kaki selama dua jam untuk sampai ke barak yang berada dekat alun-alun Salatiga. Di dekat barak terdapat bungalow berpilar tempat asisten residen tinggal. Kini alun-alun itu menjadi bundaran tugu jam dan rumah asisten residen digunakan sebagai Rumah Dinas Walikota Salatiga.

Menurut James, Rimbaud bukan orang Prancis satu-satunya di garnisun Salatiga. Ia datang bersama lima rekannya: Louis Adolphe Brissonet, Emile Nicolas Dourdet, Louis Durant, Auguste Michaudeau, dan Léon Prothade Monnin. Namun, Michaudeau meninggal begitu sampai di Salatiga.

Dua Pekan Nan Menjemukan

Hari-hari Rimbaud sebagai tentara diisi dengan pelatihan militer. Selain itu, menurut Jean-Marie Carre dalam A Season In Hell, The Life Of Arthur Rimbaud, Rimbaud juga mengerjakan penggalian tanah, membersihkan hutan, dan pekerjaan-pekerjaan yang membosankan.

Jamie James mencatat, kamp militer di lereng Gunung Merbabu itu membawa Rimbaud berkenalan dengan berbagai macam orang, termasuk pribumi.

“Untuk pertama kalinya Rimbaud berhubungan langsung dengan tentara pribumi, kebanyakan orang Jawa dan Maluku, yang merupakan tiga perempat jumlah infantri,” tulis James.

Kamp militer Salatiga tidak memiliki disiplin yang ketat. Para serdadu dapat memperoleh opium dengan mudah di toko-toko milik Tionghoa. Mereka juga aktif mengkonsumsi alkohol untuk membantu pencernaan dan menahan rasa lapar.

Para serdadu juga dapat dengan mudah membawa gadis-gadis ke dalam kamar. Oleh karena itu, satu dari tiga tentara Eropa di Hindia Belanda, jelas James, menderita penyakit menular seksual.

“Rimbaud tidak termasuk di antara mereka; kisah tentang ini baru datang kelak, di Afrika,” sebut James.

Rimbaud tak mau berlama-lama tinggal di kamp militer. Ketika misa pengangkatan pendeta Yesuit De Bruyn digelar di kapel Dionysos Salatiga pada 15 Agustus 1976, Rimbaud telah raib. Sehari sebelumnya, ia masih absen pagi dan sore. James menduga Rimbaud menyelinap pada 14 Agustus malam. Karena pencarian baru dilakukan pada 16 Agustus, Rimbaud punya waktu sekitar 36 jam untuk melarikan diri.

Rimbaud tak membawa banyak barang. Ia meninggalkan sepasang fourragères (peghargaan militer) berlapis emas, jubah, tiga dasi, dua kemeja, dua pasang celana dalam, sepasang pakaian dalam militer, dua pasang celana panjang, dua tunik, sepasang sepatu Eropa, perlengkapan mandi, dan sebuah kotak kayu. Barang-barang itu lalu dijual seharga satu florin delapan puluh satu sen dan hasilnya disumbangkan ke sebuah panti asuhan di Salatiga.

“Untuk pelariannya, Rimbaud pasti mengenakan rompi flanel dan celana putih, seperti yang dikenakan seorang mufti kolonial, yang akan membuatnya tidak mencolok sebagai orang Prancis di Jawa Tengah,” tulis James.

Pelarian Rimbaud tentu merupakan sebuah pelanggaran berat. Jika tertangkap, ia akan dikerangkeng dengan rantai yang diberi bandul bola besi. Tapi, Rimbaud beruntung tak tertangkap dan tak ada yang mengetahui keberadaannya selama beberapa bulan.

Jean-Marie Carre menyebut Rimbaud kecewa dengan Timur. Dia merasa tertahan oleh disiplin dan membenci para perwira bintara Belanda. Sementara menurut Dorleans, “Apapun alasan desersinya jelas Arthur Rimbaud tidak memiliki temperamen yang cocok untuk kehidupan militer.”

Kabar tentang Rimbaud baru terdengar lagi pada 31 Desember 1876. Penyair besar itu telah berada di rumah ibunya di Charleville, Prancis. Rambaud tampak berkulit kecoklatan dan berjenggot. Ernest Delahaye yang bertemu Rimbaud pasca-pelariannya, seperti dikutip James, mencatat bahwa dari Jawa, Rimbaud melewati Tanjung Harapan, St. Helena di Antlantik, Azores di Portugal, Irlandia, Liverpool, Paris lalu sampai di Charleville.

Kisah Rimbaud di Jawa memang kurang mendapat perhatian para sejarawan dibanding kisahnya di jazirah Arab atau Afrika. Plakat marmer yang dipasang oleh Duta Besar Prancis Thierry de Beaucé pada 1997 menjadi pengingat penting potongan sejarah hidup Rimbaud dan juga Kota Salatiga.