Para pemuda pejuang dalam Pertempuran Surabaya. Banyak persenjataan yang mereka gunakan merupakan warisan Jepang yang didapat atas kemurahan hati Laksamana Shibata (IPPHOS)
Bersimpati pada gerakan kemerdekaan Asia Tenggara sejak lama, Laksamana Shibata mendukung gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan menyuplai senjata.
TRANSKEPRI.COM. Dalam sebuah kesempatan ketika berkunjung ke Jepang tahun 1950, Dokter R. Soeharto menyempatkan diri ke Yokohama. Di kota tersebut, dokter pribadi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta itu bertandang ke kediaman mantan Laksamana Yaichiro Shibata. Kunjungan tersebut dilakukannya untuk mengantarkan titipan Bung Karno.
“Bung Karno menitipkan sebuah bingkisan dalam amplop agar disampaikan kepada eks Laksamana Shibata,” kata Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah.
Di kediaman Shibata yang amat sederhana, Soeharto mendapat sambutan hangat. Dia lalu memberikan titipan Presiden Sukarno kepada tuan rumah.
“Senang sekali ia menerima bingkisan itu dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Bingkisan itu dikirimkan oleh Bung Karno sebagai kenang-kenangan dan tanda ucapan terima kasih,” sambung Soeharto.
Ucapan terimakasih Bung Karno ditujukan untuk membalas kebaikan Shibata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana bawahannya, Laksamana Maeda, Panglima Kaigun (AL Jepang) di Indonesia semasa Perang Dunia II Laksamana Shibata menunjukkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Simpati Shibata terhadap nasionalisme Asia Tenggara bukanlah hal baru. Pada Oktober 1935 dia termasuk di antara sekelompok orang Jepang terkemuka yang menyambut pemimpin Filipina Sakdalista, Benigno Ramos, ke Tokyo,” tulis Bennedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. “Laksamana Madya Yaichiro Shibata hampir tidak menyembunyikan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia.”
Tatkala posisi Jepang sudah diambang kekalahan dalam Perang Dunia II, Shibata menyatakan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia lewat pertemuan dengan Bung Karno di Bali, Juli 1945. Pertemuan yang juga diikuti Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo itu diketahui Dokter Soeharto yang diajak Bung Karno mendampingi ke Bali.
“Pada suatu hari di bulan Juli Bung Karno meminta pada saya agar stand by, karena sewaktu-waktu hendak mengajak saya terbang ke Bali. Maksud perjalanan ke Bali itu untuk menemui Laksamana Yaichiro Shibata, Panglima Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yang membawahi Nusantara, kecuali Sumatra dan Jawa,” kata Soeharto.
Pertemuan ketiga pemimpin bangsa Indonesia dengan Shibata berlangsung di Singaraja. Tak ada satupun dari ketiga pemimpin Indonesia itu yang menyebutkan hasil dari pertemuan tersebut. Namun, Soeharto dapat mengetahuinya karena diceritakan Soebardjo usai pertemuan.
“Pak Bardjo mengatakan kepada saya, Shibata menaruh simpati besar terhadap perjuangan mewujudkan Indonesia Merdeka dalam waktu dekat, dan akan memberikan segala bantuan yang mungkin dapat ia berikan,” sambung Soeharto.
Shibata tak melanggar janjinya. Dukungan itu dia buktikan tak lama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
“Sejak akhir bulan Agustus ia telah mulai memberikan senjata-senjata kepada unsur-unsur pemuda tertentu,” tulis Ben Anderson.
Di Surabaya, tempatnya menetap setelah di Bali, dukungan Shibata dibuktikan lewat penyelesaian konflik antara pemuda pejuang dengan Kenpeitai ketika sekira 700 pemuda pejuang di bawah pimpinan Soengkono menyerbu kantor Kenpeitai untuk meminta persenjataan mereka. Mereka mengingingkan senjata hanya untuk menghadapi Belanda yang akan kembali menjajah, kata Sungkono.
“Baiklah akan saya selesaikan,” kata Shibata kepada Soengkono sebagaimana dikutip Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
“Akhirnya Laksamana Shibata menemui pimpinan mereka (Keinpetai, red.). Ia menyatakan bahwa senjata sudah ada di bawah pengawasan Polisi Indonesia dan akan diserahkan kepada Residen Sudirman,” sambung Notosusanto.
Pada 3 Oktober 1945, Shibata secara resmi menyerahkan persenjataan Kaigun kepada Kapten Huijer, perwakilan South East Asia Command/Sekutu. Penyerahan itu secara simbolik dilakukannya dengan menyerahkan pedangnya kepada Huijer.
Keputusan itu diambil Shibata karena Huijer menuntut penyerahan senjata Jepang agar tidak jatuh ke tangan para “ekstremis”. Senjata-senjata itu kemudian, dengan persetujuan Huijer, akan dijaga para anggota Komite Nasional Indonesia, yang dalam penilaiannya cukup moderat, hingga pasukan Sekutu tiba.
Shibata mematuhi tuntutan Huijer tentu dengan alasan akan terbebas dari tanggungjawab menjaga keamanan yang kian kacau. Namun lebih dari itu, Shibata yang telah mengenal kondisi masyarakat Indonesia dan bersimpati pada kemerdekaan mereka, yakin senjata-senjatanya akan jatuh ke tangan para pemuda-pejuang Indonesia karena para anggota KNI yang dipercaya Huijer menjaga persenjataan itu takkan mampu menjalankan tugasnya.
Namun, di lapangan keadaan berjalan tak semudah yang dibayangkan. Beberapa kesatuan militer Jepang menolak menyerahkan persenjataan mereka. Ketegangan pun terjadi antara mereka dengan para pemuda-pejuang.
“Mereka bersedia menyerahkan senjata yang ada, asal ada perintah dari atasan, yakni Laksamana Shibata pimpinan tertinggi Angkatan Laut Jepang untuk wilayah timur,” tulis Irna HN Soewito dalam Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, Vol. 1.
Keesokan harinya, Shibata memerintahkan para bawahannya agar menyerahkan persenjataan mereka kepada Indonesia. Dengan begitu, tanggung jawab penyerahan senjata itu kepada Sekutu nantinya menjadi tanggung jawab Indonesia sepenuhnya. Sementara, mulai saat itu tanggung jawab keamanan di Surabaya sudah berada di pundak Huijer, bukan lagi di pundak Jepang.
Seruan Shibata kemudian dipatuhi para bawahannya. Panglima AD setempat, Mayjen Iwabe Syigeo, pun mengikuti langkah Shibata dengan menyerahkan persenjataan pasukannya kepada Polisi Indonesia. Langkah Shibata kemudian terbukti tidak meleset.
“Ternyata kemudian bahwa KNI itu tidak mempunyai kemampuan dan juga tidak mempunyai keinginan untuk mematuhi persetujuan itu. Dengan demikian semua senjata dan mesiu milik komando Angkatan Laut di Surabaya jatuh ke dalam tangan KNI dan Polisi Istimewa pada namanya saja, sedangkan pada praktiknya jatuh ke tangan BKR, kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi, dan bahkan gerombolan-gerombolan yang masih kurang terorganisasikan,” tulis Ben Anderson.