Dokter Soeharto mendampingi Bung Karno di Balai Penelitian Departemen Perindustrian Rakyat, Yogyakarta (repro
Tak tahu tujuan dan tak terdaftar, dokter Soeharto mengikuti penerbangan mengerikan Bung Karno-Bung Hatta ke luar negeri. Mendapat masalah sejak awal.
TRANSKEPRI.COM. Dokter R. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta, senang bukan kepalang. Perjalanan berbahaya yang mempertaruhkan nyawa baru saja diselesaikannya. Perjalanan itu ialah menyertai Bung Karno, Bung Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat menghadap Jenderal Hisaichi Terauchi, panglima tertinggi Jepang di Asia Tenggara, di Dalat, Vietnam.
Perjalanan itu berbahaya karena dilakukan di tengah peperangan dan menggunakan “penerbangan gelap”. Selain mesti dilakukan tengah malam, pilot pesawat harus hati-hati demi menghindari bahaya sergapan atau tembakan pasukan Sekutu. Selain itu, tak satupun dari rombongan Indonesia dalam penerbangan itu yang mengetahui tujuan pemanggilan oleh Jenderal Terauchi.
“Kami tidak boleh menyampaikan keberangkatan ini kepada siapa pun, sekalipun kepada keluarga sendiri. Udara sepanjang perjalanan sudah dikuasai oleh Sekutu dan pesawatnya berkeliaran. Jadi, demi keselamatan kami semua tak seorang pun boleh tahu bahwa Sukarno turut dalam pesawat itu,” kata Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Perintah Terauchi membuat Bung Karno mengajak Soeharto dengan memendam rahasia. Selain memberitahunya mendadak (sore 8 Agustus 1945), Bung Karno tak memberitahu Soeharto tujuan penerbangan itu kecuali ke luar negeri.
Soeharto hanya bisa pasrah dan bingung meski bersedia mengikutinya. Pertanyaan terus muncul di kepalanya hingga setelah dia selesai mempersiapkan barang bawaannya pada subuh 9 Agustus 1945.
“Dengan bekal kopor pakaian dan obat-obatan saya siap-sedia berangkat menyertai Bung Karno dan Bung Hatta dalam suatu gambling and desperate flight –penerbangan maut– ke luar negeri. Nyaris tak terbayangkan oleh saya untuk terbang ke luar negeri pada hari-hari itu. ‘Parang Asia Timur Raya’ tengah memuncak,” kenang Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah.
Kecemasan terus meliputi Soeharto sepanjang perjalanan menuju bandara. Tapi dia hanya bisa memendamnya sendiri.
“Hendak ke mana sebenarnya Bung Karno dan Bung Hatta? Berkali-kali saya menghirup napas panjang menghadapi saat-saat terakhir menuju ke lapangan terbang Kemayoran. Mengapa saya bersedia ikut dalam perjalanan yang mempertaruhkan nyawa ini? Betapapun eratnya hubungan kami berdua, kiranya tidak akan terlampau sukar andaikata saya mencari dalih untuk menolak ikut dalam penerbangan yang nekad itu,” sambungnya.
Ketegangan Soeharto menghebat ketika Bung Karno memberitahunya bahwa mereka akan ke Dalat. Indocina saat itu sedang menjadi palagan antara pasukan Sekutu dan Jepang, mengapa malah akan didatangi? Di tengah kekhawatiran itu, Soeharto mendapati tak ada satu pun pengantar di Kemayoran. Itu berarti penerbangan yang akan diikutinya benar-benar rahasia.
“Perwira Jepang yang mengantarkan kami ialah Letnan Kolonel Nomura dari Gunseikanbu. Dalam perjalanan ke Dalat, kami menginap semalam di Singapura dan semalam di Saigon,” tulis Bung Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.
Selama penerbangan dari Singapura menuju Saigon, rombongan Indonesia diliputi kekhawatiran. Laju pesawat tidak konstan.
“Pesawat yang agak oleng jalannya itu semakin mengerikan terbangnya setelah lepas landas dari Singapura. Kadang-kadang membubung tinggi, tiba-tiba menurun bagaikan meluncur ke bawah, kadang-kadang zig-zag. Rupanya pesawat harus menghindari daerah yang berbahaya. Di kejauhan tampak kepulan-kepulan asap akibat tembak-menembak antara pesawat Jepang dan pesawat Sekutu, serta peluru meriam yang ditembakkan dari darat,” kata Soeharto.
Menjelang mendarat di Saigon, hujan lebat dan kabut pekat menyelimuti langit. Pilot akhirnya mendaratkan pesawat di landasan darurat 100 kilometer dari Saigon.
“Kami mendarat dengan keras di suatu lapangan terbuka dan hampir saja menubruk seekor kerbau. Barang-barang berserakan. Kami terhempas dan benjol-benjol. Pikiran kami semua sangat tergoncang karenanya,” kenang Bung Karno.
Rombongan mesti menunggu sejam untuk mendapatkan mobil penjemput. Mereka terpaksa berkendara menuju Saigon dalam kegelapan karena lampu mobil sengaja dimatikan demi keamanan.
Penerbangan pulang –dari Dalat pada 13 Agustus 1945– mereka tak kalah mencekam. Dari Saigon mereka singgah semalam di Singapura, baru melanjutkan penerbangan ke Jakarta. Mereka menggunakan pesawat fighter-bomber militer Jepang.
“Kami tidak lagi naik pesawat penumpang yang enak. Kami diantar oleh seorang penerbang, seorang pembantu penerbang dan dengan pesawat pembom yang sudah uzur dan ringsek ditambah lagi dengan hiasan lubang-lubang bekas peluru. Tidak ada tempat duduk. Dan kami membeku kedinginan. Tidak ada pengukur suhu atau pesawat pemanas. Kakus pun tidak,” kata Bung Karno.
Menjelang Singapura, pesawat mendarat tergesa-gesa sehingga meluncur agak jauh dari landasan. Itu ternyata dilakukan untuk menghindari pesawat-pesawat Sekutu. Pesawat baru kembali mengudara setelah keadaan aman dan tiba di Singapura sorenya.
Ketenangan baru dirasakan rombongan ketika kembali ke Indonesia esok paginya menggunakan pesawat penumpang. Selain lebih nyaman, penerbangan itu lebih aman karena pesawat penumpang tidak dijadikan sasaran pesawat tempur pihak manapun. Perasaan lega dan senang pun menghinggapi para anggota rombongan begitu tiba di Kemayoran.
“Betapa gembira hati saya tiba di rumah dan di tengah-tengah keluarga kembali. Namun sekali-sekali masih teringat juga betapa menegangkannya dan mengerikan penerbangan ke Dalat yang baru saja saya alami,” kata Soeharto.
Sedari awal, keikutsertaan Soeharto sama gelapnya dengan penerbangan itu. Masalah pun sudah menghampirinya sejak penerbangan belum dimulai. Saat satu persatu nama anggota rombongan dipanggil oleh petugas militer Jepang sebelum menaiki pesawat, nama Soeharto tak kunjung dipanggil. Karena itulah dia langsung berupaya menaiki pesawat. Namun belum lagi kakinya mencapai tangga pesawat, petugas tadi langsung menghentikannya dan menanyakan namanya. Meski sudah dijawabnya, petugas itu menyatakan bahwa Soeharto tak ada dalam daftar penumpang.
Kejadian itu membuat Bung Karno cemas. “Aku menahan napas,” kata Bung Karno.
Soeharto berjuang agar dapat naik pesawat. Namun alih-alih mendapat lampu hijau setelah menjelaskan bahwa dirinya merupakan dokter rombongan Indonesia, dia malah mendapat jawaban menyakitkan.
“Tidak perlu dokter Indonesia. Kami punya banyak dokter yang pandai-pandai,” kata petugas tadi, dikutip Soeharto.
Jawaban itu membuat Soeharto putar akal. Sambil melucu dia lalu menanyakan apakah dokter Jepang ada yang paham cara berpakaian Jawa guna membantu memakaikan busana dr. Radjiman yang sedang rheumatik. Taktik itu berhasil membuat petugas Jepang tadi pergi menemui rekan-rekannya untuk mencari jawaban atas pertanyaan Soeharto.
Kesempatan itu pun langsung digunakan Soeharto untuk masuk pesawat. Dia langsung menemui Bung Karno dan tak mengindahkan panggilan dari bawah. Keberhasilan Seoharto mengakali petugas Jepang itu membuat Bung Karno tertawa geli. Soeharto tak mempedulikannya dan langsung mengambil tempat duduk di samping Miyoshi, petugas Jepang yang sering menjadi penerjemah Bung Karno kala mengadakan pembicaraan dengan pihak Jepang.
“Ikut juga?” Miyoshi menanyakan Soeharto. Yang ditanya tak menjawab.
“Tahulah saya bahwa dalam penerbangan gawat itu saya merupakan penumpang gelap,” kata Soeharto.