Perseteruan Keluarga Majapahit

Selasa, 09 Februari 2021

Litografi reruntuhan Candi Brahu peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto.

Perang Paregreg hanya permulaan dari perseteruan keluarga Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya.

Perang saudara dalam peristiwa Paregreg sedikit mereda ketika Suhita naik takhta. Namun, perseteruan antaranggota keluarga Kerajaan Majapahit tak berhenti di situ. Pararaton-lah yang menamai perang saudara setelah Hayam Wuruk mangkat itu dengan Paregreg atau peristiwa huru-hara. Pemicunya perebutan singgasana antara suami Kusumawarddhani, Wikramawarddhana, dengan saudara tiri Kusumawarddhani, Bhre Wirabhumi.

Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Namun, Wirabhumi tak berhak atas takhta Majapahit karena putra Hayam Wuruk dari selir. Posisi putri mahkota disandang Kusumawarddhani, anak Paduka Sori, permaisuri Hayam Wuruk.

Paregreg berakhir setelah Wirabhumi dipancung. Namun, perang saudara terus terjadi. Secara turun-temurun, Majapahit diperintah oleh garis keturunan langsung Sanggramawijaya atau Raden Wijaya, sampai Suhita, cucu Hayam Wuruk, yang memimpin dari 1427-1447.

Dari perkawinannya dengan Hyang Parameswara, Suhita tak memperoleh keturunan. Dia digantikan saudara tirinya, Sri Kertawijaya (1447-1451), putra Wikramawardhana dari selir. Kertawijaya menjadi raja pertama Majapahit bukan keturunan Wijaya, sang pendiri kerajaan.

Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara menyimpulkan bahwa sejak pemerintahan Kertawijaya takhta Majapahit menjadi rebutan antara banyak keluarga. "Takhta diduduki silih berganti oleh berbagai raja dari berbagai keluarga yang tidak selalu keturunan langsung Sanggramawijaya," jelasnya.

Selanjutnya Kertawijaya diganti Bhre Pamotan. Kondisi politik pada masa pemerintahannya agaksedikit janggal. Berdasarkan keterangan Pararaton, dia yang bergelar Sri Rajasawarddhana bertakhta di Keling-Kahuripan.

Arkeolog Hasan Djafar dalam Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya menduga pada masa Bhre Pamotan, pusat pemerintahan telah dipindahkan dari ibu kota Majapahit ke Keling-Kahuripan. "Hal ini mungkin menunjukkan bahwa keadaan politik Majapahit telah memburuk lagi akibat adanya pertentangan keluarga yang berlarut-larut," katanya.

Setelah Bhre Pamotan mangkat pada 1453, Majapahit sempat tak punya raja selama tiga tahun.

Akhirnya, pada 1456 Bhre Wengker naik ke tampuk pemerintahan Majapahit. Dia adalah putra Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Selama sepuluh tahun masa jabatannya, pertentangan keluarga cukup mereda.

Perang saudara muncul lagi ketika Bhre Pandansalas menggantikannya. Menurut Pararaton, Pandansalas berkedudukan di Tumapel saat memerintah. Baru dua tahun menjabat, dia harus menyingkir dari keratonnya ke Daha.

Menurt Hasan menyingkirnya Pandansalas dari keraton mustahil terjadi jika tanpa kejadian mendesak. Dia menunjuk Bhre Krtabhumi, paman Pandansalas, sebagai dalang yang menyerang Tumapel untuk merebut kekuasaan Majapahit dari Pandansalas.

Berdasarkan prasasti-prasasti Girindrawarddhana dari 1408 Saka (1486), Hasan menduga ketika keraton Tumapel diserang Krtabhumi, Pandansalas menyingkir ke Daha. Di Daha, dia meneruskan pemerintahan sebagai raja Majapahit. Dia sempat mengeluarkan Prasasti Pamitihan tahun 1395 Saka (1473).

Putranya yang menggantikan pada 1396 Saka (1474) berusaha mempersatukan wilayah Majapahit yang terpecah. Pada awal masa pemerintahannya, sebagian wilayah Majapahit masih di tangan Krtabhumi yang berkedudukan di Majapahit.

Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana itu pun kemudian menyerang Majapahit untuk mengambil kembali wilayah yang direbut Krtabhumi. "Penyerangan ini dapat juga dianggap sebagai balasan atas penyerangan Krtabhumi terhadap ayahnya," tulis Hasan.

Akibatnya, Krtabhumi gugur di keraton Majapahit pada 1400 Saka (1478). Pertanggalan inilah yang menurut Hasan, dicatat berita tradisi dalam Serat Kanda sebagai waktu keruntuhan Majapahit. Meski sebenarnya Majapahit masih berdiri sampai tahun-tahun berikutnya di bawah pemerintahan Girindrawarddhana.

Dengan begitu, Girindrawarddhana memang berhasil menyatukan kembali Majapahit di bawah namanya. Namun, Majapahit sudah terlanjur remuk dari dalam. Kondisinya tak terselamatkan lagi, ditambah munculnya kekuatan-kekuatan baru, khususnya di pesisir utara Jawa dan di Asia Tenggara.