Iluminasi dalam Surat Raja-Raja Melayu

Selasa, 09 Februari 2021

Surat Raja Ali dari Riau yang berisi ucapan duka atas wafatnya Raja Willem II. (Sumber: Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19).

Simbol iluminasi digunakan oleh para raja untuk memperindah surat-surat yang akan dikirim kepada pihak yang sangat dihormati.

Beberapa waktu lalu, media sosial digegerkan dengan pernyataan Rahmat Baequni yang menyebut masjid Al-Safar (rancangan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil) yang terletak di rest area tol Cipularang kilometer 88, sebagai simbol iluminasi. Ia melihat bentuk segitiga pada bangunan masjid sebagai penggambaran simbol sekte keagamaan tersebut. Namun di Indonesia sendiri, tradisi penggunaan simbol-simbol telah ada berabad-abad lalu, salah satunya terlihat dalam teks-teks naskah milik kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Dalam ilmu naskah dikenal istilah Iluminasi, berarti ‘penerangan’, yang merujuk pada hiasan berupa gambar sebagai bingkai sebuah surat atau naskah. Namun dalam perkembangannya, makna iluminasi tidak hanya mengacu pada hiasan saja tetapi meluas pada kandungan di dalam isi teks.

"Iluminasi merupakan bukti kecerdasan dan beradaban yang tinggi dari masyarakat Indonesia," kata Mu'jizah, pakar filologi Melayu, saat mengisi acara diskusi "Iluminasi dalam Naskah-Naskah Nusantara" di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 4 Juli 2019.

Surat-surat beriluminasi banyak ditemukan dalam naskah raja-raja di Nusantara, terutama naskah Melayu. Salah satu yang termegah adalah surat Sultan Iskandar Muda dari Aceh kepada Raja James I dari Inggris. Surat yang dibuat tahun 1615 itu menggunakan motif bunga popi. Dengan panjang hampir 1 meter, surat Sultan Iskandar Muda tersebut bertabur emas.

Surat lainnya yang tidak kalah menakjubkan adalah surat Raja Ali dari Pulau Penyengat, Riau, tanggal 6 Juli 1849. Surat itu ditujukan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob van Rochussen di Batavia. Isi surat tersebut adalah ucapan duka cita atas wafatnya Raja Willem II, dan ucapan selamat atas diangkatnya Raja Willem III.

“Surat ini sangat unik, hiasannya sangat beragam dengan motif dua buket bunga dengan bunga mawar, bunga matahari, dan bunga krisan. Hiasan lainnya tebaran bunga kenanga dan rangkaian swastika,” tulis Mu’jizah dalam Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19.

Selain kedua surat itu, masih banyak surat lainnya yang dibuat oleh raja-raja kepada pemerintah Belanda, maupun sebaliknya. Bentuk hiasan pada surat-surat tergambar dengan begitu rapi dan terukur. Sangat unik memang, mengingat hiasannya itu dibuat langsung menggunakan tangan, tanpa bantuan mesin.

"Setiap iluminasi dalam naskah memperlihatkan gambar-gambar yang khas dari daerah tertentu. Bahkan pemerintah Belanda dan Inggris pun menggunakan objek khas negara mereka untuk surat-surat yang dikirim ke raja-raja di Nusantara," terang Mu'jizah kepada Historia.

Dalam buku (atau lebih tepat disebut katalog) Golden Letters: Writing Tradsions of Indonesia, Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps mendokumentasikan khazanah surat-surat Melayu di Nusantara. Walau tidak menjelaskan isi teksnya, buku tersebut memperlihatkan kekayaan iluminasi dalam sejarah pernaskahan kerajaan-kerajaan Nusantara.

Surat yang dibuat oleh raja-raja Melayu itu biasanya berisi ucapan terima kasih, permintaan bantuan, izin perdagangan, ataupun masalah-masalah ekonomi lainnya. Umumnya surat-surat itu ditulis menggunakan huruf arab karena hingga abad ke-19 di wilayah Melayu masih belum tersebar secara merata penggunaan huruf latin.

Pembuatan setiap surat biasanya memakan waktu berhari-hari. Sebab hiasan-hiasan yang digunakan terkadang rumit. Namun walau begitu, ilmuniasi dalam surat-surat itu telah menjadi suatu kewajiban bagi para raja. Mereka ingin memperlihatkan rasa hormat kepada pemerintah Inggris maupun Belanda, selain sebagai ajang pamer kemegahan masing-masing daerahnya.

“Motif-motif pada iluminasi dapat menjadi ciri khas suatu daerah pada masa tertentu,” kata Mu’jizah.

Sebagai contoh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Johor Pahang (sekarang masuk wilayah Malaysia) pernah menulis surat untuk Gubernur Jenderal P.G. van Overstraten. Surat itu ditulis pada 18 Maret 1799 dan diterima oleh pemerintahan di Batavia pada 23 April 1799.

Surat itu dipublikasikan oleh Edwin Paul Wielinga di Leiden Unversity dalam Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and Other Collections in the Netherlands.

Surat Sultan Mahmud itu berisi pemberitahuan tentang senapan yang telah diterima pemerintahannya. Selain itu ia memberikan informasi tentang sulitnya akses pengiriman timah dan lada ke Batavia. Sultan juga menulis permintaan maaf kepada sang gubernur jenderal karena tidak dapat mengirimkan kayu tiang kapal sebab belum ada pedagang yang sanggup membawanya. Namun di dalam surat itu Sultan Mahmud menjanjikan pemberantasan perompak di wilayah perairan Sumatera agar pemerintah kolonial dapat melaluinya dengan mudah.

Mu’jizah menjelaskan iluminasi pada surat itu terdapat pada seluruh bagian surat. Bingkai pembatas surat dibuat dengan garis ganda emas yang dihiasi motif sulur. Di sisi atas terdapat hiasan bunga tanjung. Sisi kanan dihiasi bunga matahari. Semua hiasan itu menggunakan tinta emas.

"Emas yang dipakai adalah emas asli. Warna kuning pada emas tersebut menjadi simbol keagungan di tanah Melayu," kata Mu'jizah.