Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. (Arsip Nasional Belanda).
Pada Selasa sore yang panas, 23 Agustus 1949, delegasi Republik Indonesia, beserta Serikat Federasi Indonesia (BFO) dan Belanda, berkumpul mengelilingi meja besar berbentuk oval di “Room of Knights” (Ridderzal) di Den Haag, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dipelopori oleh diplomat Amerika Merle Cochran.
Setelah Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, konflik politik dan militer berkecamuk selama hampir setengah dekade. Konferensi Meja Bundar (KMB) di ibu kota Belanda itu adalah tindakan politik akhir bagi semua pihak untuk menyepakati syarat-syarat penyerahan kedaulatan kepada Indonesia dalam jangka waktu dua bulan. Mata masyarakat internasional menyaksikan tiap gerak gerik yang dilakukan dalam perundingan itu. Niatnya adalah setelah pengalihan, dengan Persemakmuran Inggris sebagai contoh, akan didirikan sebuah Uni Indonesia-Belanda yang terdiri dari Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia, dengan Ratu Belanda sebagai mahkota kerajaan.
Orang Indonesia diwakili oleh dua kubu, tetapi mereka telah menyetujui agenda yang sama: kedaulatan dan tidak ada yang lainnya. Syarat dan ketentuan spesifik akan melibatkan pertarungan sengit di meja negosiasi. Delegasi Republik Indonesia diketuai oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan mantan Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem, sedangkan perwakilan Federal oleh Perdana Menteri Anak Agung Gede Agung dan Hamid II, Sultan Pontianak.
Pemerintah Belanda diwakili oleh Menteri Wilayah Seberang Lautan Johannes van Maarseveen, Menteri Luar Negeri Dirk Stikker, dan diplomat Herman van Roijen. Dalam pidato pembukaan konferensi bersejarah tersebut, Perdana Menteri Willem Drees menegaskan masih banyak orang yang menentang kemerdekaan Indonesia di lingkungan Belanda.
Dari artikel politikus Frans Goedhart (Partai Pekerja, PVDA) tampak jelas apa yang dimaksud oleh Drees itu. Frans menulis di bawah nama samaran Pieter ‘t Hoen di Het Parool, tentang konferensi “Komunitas Kolonial untuk Persatuan Bangsa (het koloniale gezelschap Rijkseenheid)”, dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Gerbrandy. Mereka berkumpul di kebun binatang Den Haag untuk menolak penyerahan kedaulatan. “Orang-orang kolonial” itu menurut ‘t Hoen, lebih suka melancarkan perang saudara di Indonesia daripada harus kehilangan tempo doeloe, masa kolonial yang indah.
Pemerintah Belanda mengutamakan fokus pada konsekuensi finansial dari penyelesaian tersebut. H.M. Hirschfeld, komisaris pemerintah yang berpengaruh dan ahli keuangan Hindia Belanda, memandang masalah politik ada di bawah masalah ekonomi. Menurutnya, selain penyelesaian utang yang menguntungkan, yang terpenting bagi Belanda adalah pelestarian dan pemulihan investasi di perkebunan, pertambangan, serta rel kereta api dan trem.
Hirschfeld tak keberatan dengan dekolonisasi politik, tetapi dia ingin mempertahankan kolonisasi ekonomi finansial Belanda di Indonesia seperti yang dikatakan oleh ekonom dr. J.M.M.J. Clerx, yang menangani masalah ini dalam volume di kabinet Belanda Drees-Van Schaik sebagai bagian dari publikasi Center of Parliamentary History pada tahun 1991. Kelanjutan dari hubungan timpang kolonial ini juga terlihat dari sederet keuntungan yang diraih Belanda dengan penyerahan kedaulatan, seringkali dengan mengorbankan anak muda Indonesia.
Delegasi Belanda memulai perundingan dengan agak tegas, dengan tuntutan agar seluruh utang Hindia Belanda, enam setengah miliar gulden, harus dialihkan ke Indonesia, termasuk biaya semua tindakan militer baru-baru ini yang diklaim nyawa sekitar 100.000 orang Indonesia. Rancangan kesepakatan asli menyatakan bahwa “tindakan yang diambil untuk memulihkan ketertiban dan perdamaian adalah untuk kepentingan Indonesia”.
Ini pasti satu hal yang aneh bagi anggota delegasi Indonesia. Mohammad Hatta dipenjara selama Agresi Militer kedua pada tahun 1948 dan, dr. Leimena, salah satu anggota delegasi Republik yang berada di Yogyakarta dalam aksi yang sama, telah menyaksikan langsung bom yang dilemparkan Belanda dan berhasil menyelamatkan diri di ruang bawah tangga sebelum bom meledak. Sekarang mereka dihadapkan pada ganti rugi yang harus dibayar atas kejahatan perang yang Belanda lakukan atas Indonesia.
Ada juga pandangan yang berlawanan dari pihak Belanda. Sejumlah orang Belanda progresif, termasuk Jacques de Kadt dan Menteri Keuangan Negara Indonesia Timur M. Hamelink, merasa bahwa delegasi Belanda sedang memasukkan segala macam syarat ke dalam perjanjian sementara Dewan Keamanan PBB telah menginstruksikan untuk mengalihkan kedaulatan “sepenuhnya dan tanpa syarat”. Masalah utang, yang mereka anggap sebagai barang yang paling membara, hanya bisa berarti sejauh yang mereka ketahui: “tidak menuntut apa pun dari pihak Belanda” mereka merasa tujuan satu-satunya adalah memulihkan perekonomian Indonesia, sehingga Belanda dapat terus berdagang dengan Indonesia.
Emosi memuncak dalam subkomite yang secara khusus dibentuk untuk menyelesaikan masalah ganti rugi kejahatan perang yang disebut juga dengan “schuldenkwestie”. Indonesia menyatakan akan mematuhi keputusan komite utang, asalkan waktu penyerahan kedaulatan tidak dipertaruhkan dan biaya militer tambahan untuk perang kemerdekaan dikurangi dari beban utang.
Pemerintah Belanda luar biasa bersikeras, padahal saat itu Belanda telah menerima sebagian dari bantuan Marshall dan bantuan finansial negeri lain untuk rekonstruksi Belanda pascaperang. Namun di bawah tekanan diplomat PBB, Merle Cochran, dua miliar gulden dipotong. Pada akhirnya, Indonesia harus mengambil alih utang 4,5 miliar gulden, dengan menanggung semua bunga terkait dan kewajiban pembayaran kembali.
Meskipun di waktu yang berbeda, Suriname sama sekali tidak diharuskan membayar penuh utangnya senilai setengah miliar gulden setelah kemerdekaan pada tahun 1975. Selain itu, Suriname malah menerima setidaknya 3,5 miliar gulden dalam bantuan pembangunan.
Masalah utang pada KMB hampir terlupakan dalam debat publik Belanda, sampai mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (PVDA) Lambertus Giebels, berargumen di De Groene Amsterdammer pada tahun 2000 bahwa Indonesia telah menghasilkan uang kontribusi yang signifikan untuk rekonstruksi Belanda pascaperang Dunia Kedua. Jumlahnya hampir sebanyak Marshall Plan. Dia menunjukkan bahwa ketika pembayaran utang dihentikan oleh Indonesia pada tahun 1956, sekitar 650 juta dari 4,5 miliar gulden masih harus dibayar, dan menurut Giebels hampir empat miliar telah dilunasi.
Jajahan Hilang, Untung Tetap Terbilang
Bagian utang yang mana yang akhirnya dilunasi dan apakah jumlah aslinya ditentukan dengan benar masih diperdebatkan. Sumber yang dikutip oleh Clerx, seperti makalah dari House of Representatives (Handelingen van de Tweede Kamer), serta dikutip oleh aktivis Michael van Zeijl (De Grauwe Eeuw), keduanya mendukung sisa utang yang disebutkan Giebels. Jumlah tersebut lebih masuk akal berdasarkan dokumen yang ditemukan di Arsip Nasional di Den Haag, yang disebut Nota Keuangan Negara, berisi pernyataan pembayaran kembali dari tahun 1952–1953. Posisi sementara pinjaman Belanda sebagian besar sejalan dengan persyaratan pinjaman.
Meskipun bantuan Marshall telah luntur beberapa dekade yang lalu, Giebels masih membuat perbandingan antara kontribusi Indonesia dan bantuan Marshall untuk menekankan pentingnya kontribusi Indonesia. Jelas perbandingan yang menarik, tetapi kesimpulannya salah. Dia hanya menggunakan satu nilai tukar 3,80 gulden per dolar, untuk menukar nilai bantuan Marshall sebesar 1.127 juta dolar AS, namun nilai itu hanya digunakan sejak 20 September 1949 dan seterusnya sementara bantuan darurat masuk ke Belanda pada awal April 1948 ketika tarif Bretton-Woods 2,65 per dolar masih diterapkan.
Seandainya dia memperhitungkan tarif yang benar, hampir empat miliar euro akan lebih dari bantuan Marshall. Tetapi yang lebih penting, beban utang yang diasumsikan hanyalah keuntungan pertama dari pengalihan kedaulatan untuk Belanda, bersama dengan setidaknya lima keuntungan besar lainnya.
Keuntungan kedua bagi Belanda adalah kenyataan bahwa adanya transfer keuntungan, pensiun dan dividen dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia dapat terus mengalir kembali ke Belanda, sesuatu yang dengan paksa dilobi oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan pemerintah Belanda. Transfer ini berjumlah 3,2 miliar gulden selama periode 1950–1957. Hanya sebagian kecil yang diinvestasikan kembali.
“Belanda melindungi kepentingan keuangan dan ekonominya di RTC (KMB). Indonesia mengambil alih banyak utang sementara Belanda mempertahankan perdagangan mereka yang menguntungkan,” komentar Clerx. Hampir setengah dari modal yang ditanamkan di Nusantara berada di tangan Belanda dan Indonesia hanya diperbolehkan mengekspor ke Eropa melalui Belanda. Dalam praktiknya, sangat sedikit yang menjanjikan masuknya orang Indonesia ke dalam manajemen perusahaan oleh Belanda, yang disebut Indonesianisasi. Meskipun kebijakan moneter pemerintah dan bisnis adalah dua domain yang relatif terpisah, mereka berinteraksi satu sama lain: perusahaan Belanda di Indonesia, seperti bantuan Marshall, membantu mengurangi defisit dolar yang terjadi di Belanda hingga tahun 1949.
Keuntungan ketiga dalam penyerahan kedaulatan adalah lepas tanggungjawabnya Belanda dari keharusan mendukung rekonstruksi ekonomi Indonesia, sementara pendudukan Jepang, pengeboman Sekutu dan perang kemerdekaan telah menyebabkan kerugian material dan ekonomi yang sangat besar, yang tentunya belum diperbaiki sepenuhnya dengan penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Belanda telah mengajukan tuntutan atas nama Belanda/Hindia Belanda atas kerusakan yang diderita Jepang sebesar 24,5 miliar gulden, lebih dari tujuh kali bantuan Marshall. Klaim itu kemudian ditarik di bawah tekanan Amerika karena takut akan komunisme.
Dalam The Economist tahun 1960, Prof. Dr. Wytze Gorter telah melihat keuntungan dari biaya yang dihindari oleh Belanda, tetapi tidak melabelinya dengan label harga. Sementara itu dalam Financieele Dagblad tahun 1949 Menteri Keuangan Piet Lieftinck menghitung paling tidak 1,6 miliar gulden diperlukan guna rekonstruksi di Indonesia selama bertahun-tahun lamanya, sampai tahun 1952. Dalam jilidnya, Clerx mengacu pada harapan pemerintah Belanda bahwa beban utang untuk Indonesia di tahun-tahun mendatang akan meningkat tiga sampai empat miliar gulden, yang rata-rata menyamai bantuan Marshall.
Associate Professor Pierre van der Eng (Australian National University) mengonfirmasi gambaran ini dalam artikel Marshall Aid and Indonesia yang terbit 2003, di mana dia menghitung penghematan biaya bantuan ekonomi sebesar 7,25 miliar gulden selama seluruh periode 1949–1960. Hal itu ia lakukan atas dasar bantuan nyata yang diterima Indonesia dalam bentuk pinjaman, donasi dan barang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa untuk menjaga agar negara tetap bertahan.
Van der Eng menyatakan bahwa Belanda telah dipaksa “untuk membiayai pemulihan keuangan Indonesia dari sumber dayanya sendiri”. Oleh karena itu, argumen bahwa Belanda tidak akan turun tangan secara finansial karena Hindia Belanda secara teknis merupakan badan hukum yang terpisah tidak valid dalam pandangannya. Dr. Peter Keppy dari Institut kajian Perang, Genosida dan Holocaust (NIOD) pada 2006 juga menulis di Sporen van Vernieling bahwa Lieftinck kadang-kadang meminta otonomi Hindia Belanda, tetapi di sisi lain mengganggu keuangan koloni secara intensif. Belanda juga memberikan jaminan finansial untuk beberapa pinjaman dari koloninya.
Jenis keuntungan keempat yang disebutkan Van der Eng adalah dengan penandatanganan penyerahan kedaulatan, atas kebijaksanaan negosiator, berbagai bantuan keuangan dari Amerika ke Belanda akhirnya dilepaskan. Menteri Belanda telah menerima janji, tetapi tidak ada jaminan mutlak: bantuan Marshall ditinjau setiap tahun oleh Amerika dan digunakan sebagai alat tekanan (simbolis). Selain keluarnya sisa bantuan Marshall, Van der Eng juga menyebutkan bantuan militer senilai empat setengah miliar untuk periode 1949-1960. Dengan empat keuntungan pertama dari pengalihan kedaulatan, ia memperoleh keuntungan total paling sedikit 23 miliar gulden untuk Belanda.
Ada juga beberapa keuntungan yang diabaikan oleh ilmuwan. Kelima keuntungan yang harus disebutkan, bahwa sebagai bagian dari kesepakatan KMB, Indonesia wajib membayar penuh untuk setiap nasionalisasi. Meskipun Republik Indonesia Serikat sudah dibubarkan oleh Sukarno pada tahun 1950 dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, KMB baru dihentikan oleh Indonesia pada tahun 1956 dan penyitaan perusahaan dimulai pada akhir tahun 1957.
Setelah pengalihan tersebut, Indonesia membeli beberapa perusahaan yang menjadi kepentingan nasionalnya, seperti perkeretaapian di Jawa dan Overseas Gas and Electricity Company (OGEM). Juga mengambilalih penerbangan transportasi domestik dari Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij, seperti yang dapat dibaca di Recollections oleh ekonom Indonesia Dr. Thee Kian Wie dari tahun 2003. Di Belanda, gambarannya masih sama bahwa Sukarno hanya mengambil perusahaan-perusahaan.
Ketika mantan koresponden Indonesia Michel Maas menyatakan dalam de Volkskrant pada tahun 2008 bahwa nasionalisasi “terbesar” Bank Jawa (De Javasche Bank) telah terjadi pada tahun 1951, sebelum semua perusahaan dinasionalisasi pada tahun 1958, dia mengabaikan bahwa bank tersebut dibeli dari pemegang saham dari berbagai negara untuk 120 persen dari harga saham yang terdaftar di bursa efek. Juga tidak semua perusahaan Belanda (pada 1958) terkena dampak penyitaan dan nasionalisasi, kata sejarawan Dr. J.T. Lindblad pada tahun 2007 dalam publikasi NIOD “Van Indië naar Indonesië”. Unilever dan Shell, yang setengahnya milik Inggris, diizinkan untuk melanjutkan untuk sementara waktu di era 1960-an dan Perusahaan Dagang Belanda (NHM) “terus berfungsi dengan baik sampai tahun 1960”, perusahaan yang menjadi sasaran dakwaan Multatuli dalam Max Havelaar.
Keenam, keuntungan signifikan, adalah pengalihan kedaulatan, “semua hak dan kewajiban” Hindia Belanda diam-diam dilanjutkan ke Indonesia. Contohnya adalah masalah “Pembayaran Kembali” tunggakan gaji dan pensiun kepada semua pegawai negeri yang dipekerjakan oleh pemerintah Hindia selama pendudukan Jepang dan khususnya tawanan perang tentara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Pada tahun-tahun sebelum penyerahan kedaulatan, korban berkewarganegaraan Belanda hanya ditawarkan sebagian kecil dari jumlah yang tertunggak, pejabat pemerintah non-Belanda tidak menerima apa-apa. Pada tahun 1945–1949, menurut Dr. Hans Meijer dalam De Indische Rekening, pemerintah Hindia Belanda atas desakan pemerintah Belanda mendasarkan keengganannya untuk melunasi tunggakan tersebut.
Setelah penyerahan kedaulatan, ternyata negara lain telah membayar penuh untuk kasus serupa. Sengketa tersebut kemudian dibawa ke pengadilan di Belanda, di mana Mahkamah Agung menolak tanggung jawab apapun dari Belanda, dengan merujuk pada “hak dan kewajiban” Hindia Belanda yang telah diserahkan kedaulatannya kepada Indonesia. Menurut sebuah artikel di Algemeen Dagblad terbitan 2017, jumlah awal yang tertunggak adalah 1,3 miliar gulden, tersebar di 82.000 tentara dan pegawai negeri, dengan rata-rata jumlah 16.000 gulden per orang.
Alasan yang sama digunakan dalam menangani korban perang Indonesia: seorang janda Belanda yang mengajukan kasus terhadap Belanda pada tahun 1950 atas pembunuhan suaminya dari Indonesia oleh seorang tentara KNIL pada tahun 1948, menerima pesan dari Kementerian Perang bahwa pertanggungjawaban tersebut telah diteruskan ke Indonesia. Setelah gugatan dan banding pengadilan, penyelesaian, pemerintah Belanda membayar 149.000 gulden atau setara dengan 660.000 Euro, namun Belanda tetap menolak bertanggungjawab atas insiden tersebut. Janda itu menerima uang ganti rugi, tetapi tidak menerimanya sebagai tanggung jawab Belanda. Sebagai perbandingan, sembilan janda dari Rawagede, kerabat korban kekerasan perang oleh tentara Belanda, menerima sejumlah 20.000 Euro per orang pada tahun 2011.
Pada tahun 1950-an, Belanda memiliki lebih banyak uang untuk digunakan membayar tunggakannya. Gambaran Pemerintah Belanda yang kikir dan pelit itu juga tercermin dari cara mereka memperlakukan para prajurit KNIL Maluku beserta keluarganya yang telah dibawa kembali ke Belanda. Pemerintah pada umumnya hanya mengambil tindakan setelah kemarahan publik yang besar atau tekanan hukum.
Sebagai bagian dari implementasi pembayaran kembali, pemerintah Belanda memberlakukan segala macam batasan, seperti batasan usia yang membuat hanya sebagian dari korban yang menerima kompensasi. Pembayaran hampir tidak pernah setara dengan kerusakan nyata sebagai akibat tindakan Belanda di Indonesia. Ganti rugi yang tak penuh itu seperti “isyarat” kepada komunitas “Indisch” untuk “sambutan yang dingin”, atau semacam kompensasi “simbolis” kepada para janda di Rawagade. Pendekatan yang baik dan berkeadilan bagi korban, paling tidak adil secara finansial dan moral, belum juga tercapai.
Selain keenam keuntungan di atas, ada juga kerugian dari sudut pandang Belanda. Misalnya, pelunasan utang Indonesia pada 1956 dibatalkan, dan ada kerugian nilai perusahaan yang disita. Poin-poin ini dan poin-poin lainnya digabungkan oleh Belanda dalam klaim residual yang dihitung sendiri sebesar 4,5 miliar gulden dan, setelah negosiasi dengan Indonesia, dikurangi menjadi 600 juta gulden, ditambah semua jumlah yang belum dibayar dari KMB, sesuai perjanjian tahun 1966. Jumlah tersebut plus bunganya, telah dilunasi oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003.
Kerugian lainnya adalah hilangnya aset di neraca yang dialihkan ke Indonesia seperti aset infrastruktur dan 10 persen likuiditas. Jumlah aset itu sebenarnya dihasilkan dari era eksploitasi kolonial, sebuah fakta yang tampaknya tidak ingin diakui oleh Belanda pada saat itu. Misalnya, Van Kleffens, duta besar Belanda di Washington ingin menjadikan “keuntungan” itu untuk Indonesia ke Departemen Luar Negeri selama negosiasi KMB untuk menunjukkan bahwa Menteri Stikker tidak ingin memaksakan “tawar-menawar yang sulit” tetapi sebenarnya “baik” bagi Indonesia: bagaimanapun juga, dalam pandangannya, Belanda telah membangun segala macam hal atas inisiatifnya sendiri, “mengingat kelambanan orang Indonesia,” menurut surat dari Van Kleffens kepada Stikker tertanggal 9 Oktober 1949 dalam Catatan Resmi tentang Bahasa Belanda-Indonesia Hubungan 1945-1950.
Marshall Plan juga memberi keuntungan tidak langsung kepada Belanda, seperti bertambahnya kepercayaan diri mereka. Namun bagaimanapun Indonesia di bawah Sukarno telah menyumbangkan miliaran gulden lebih banyak kepada Belanda pada tahun-tahun pascaperang dibandingkan dengan bantuan langsung Marshall sebesar 3,5 miliar gulden yang diterima dari AS, yang mana sebagiannya termasuk pinjaman.
Apabila dikonversi ke dalam nilai tukar hari ini, bantuan langsung Marshall tersebut berjumlah sekitar 16 miliar Euro. Manfaat dari penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia berjumlah setidaknya 103 miliar Euro. Bahkan apabila jumlahnya dikurangi dari menurunnya keuntungan yang didapat dari bantuan Amerika, sekalipun memperhitungkan kerugian akibat pembatalan kesepakatan pembayaran oleh Indonesia kepada Belanda di tahun 1956, keuntungan yang didapat oleh Belanda masih berjumlah miliaran Euro, jauh lebih banyak daripada bantuan Marshall.
Mengapa sumbangan besar dari Indonesia kepada Belanda belum diketahui masyarakat luas? Menurut Van der Eng itu terjadi karena fakta tentang aliran uang dari bank-bank yang tidak terlihat dan mungkin karena rendahnya ketertarikan publik juga. Dia juga menekankan kemungkinan penyebabnya pada kisah bantuan Marshall yang terlihat sebagai propaganda pemerintah Amerika jauh tampak oleh warga negara-negara Eropa. Tapi itu juga merupakan bagian dari kurangnya minat masyarakat umum terhadap isu-isu yang terkait dengan Indonesia, termasuk masalah New Guinea (Papua) dan Maluku.
Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia pada tahun 1951 mengungkapkan pandangan luas Indonesia bahwa berlanjutnya dominasi ekonomi Belanda menyebabkan masalah mendasar yang nyata dalam hubungan antara Indonesia dan Belanda. Bukan hanya Belanda ikut campur dalam masalah politik kemerdekaan Indonesia dengan senjata, tapi juga hubungan setelah masa penjajahan telah dibentuk oleh keberlanjutan hubungan penjajahan terhadap keuangan dan ekonomi.
Artikel ini ditulis bersama dengan Ewout van der Kleij. Diterbitkan dalam mingguan Belanda De Groene Amsterdammer pada 19 Agustus 2020. Diterjemahkan oleh Faraya Maulida.
Anne-Lot Hoek adalah seorang sejarawan dan peneliti. Ia sedang menulis disertasi/buku tentang perang kemerdekaan Indonesia di Bali (UvA).
Ewout van der Kleij adalah seorang M.Sc dalam Administrasi Bisnis (RUG) dan CFO dari sebuah perusahaan fintech.