Chairil Anwar (wikimedia)
Meminta dilukiskan potret oleh Sudjojono di pertengahan 1944, Chairil Anwar tak pernah muncul kembali. Ternyata berurusan dengan Jepang.
Suatu siang di masa pendudukan Jepang. Ketika dalam perjalanan pulang dari Pasar Petojo, mata Mia Bustam, istri “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” Sudjojono, menangkap beberapa buku tua yang sedang dijajakan seorang tukang loak. Penasaran, Mia pun menghampiri tukang loak itu. Dia kaget campur bingung ketika ternyata buku-buku tua itu merupakan buku bagus, antara lain De Nieuwe Spijzen karya penulis Prancis Andre Gide.
“Aku heran! Siapa pemilik buku ini? Mengapa buku karya Andre Gide dilempar ke tukang loak? Segera saja kubayar harganya seperti yang Abang Tukang Loak memintanya: Rp1,50. Dengan hati gembira aku membawa pulang buku itu,” kata Mia dalam memoar berjudul Sudjojono dan Aku.
Gide merupakan penulis-sastrawan Prancis yang menerbitkan lebih dari 50 buku. Dia menjadi pejuang antikolonialisme setelah Perang Dunia I. Pada 1947, Gide menjadi pemenang Nobel Sastra.
“Penghargaan Nobel Sastra 1947 dianugerahkan kepada Andre Paul Gullaume Gide ‘untuk tulisan-tulisannya yang komprehensif dan artistik, di mana masalah dan kondisi manusia disajikan dengan cinta kebenaran tanpa takut dan wawasan psikologis yang tajam’,” demikian nobelprize.org menulis dalam lamannya.
Buku De Nieuwe Spijzen karya Gide yang didapat Mia di loakan lalu ditaruh bersanding dengan koleksi bukunya yang lain. Buku itulah yang menarik perhatian sastrawan Chairil Anwar ketika tak lama kemudian bertandang ke rumah Sudjojono-Mia. Chairil merupakan salah satu pembaca Gide sejak sebelum perang. Dari sekian banyak karya terjemahannya, Chairil menerjemahkan satu karya Gide yang dibukukan dengan judul Pulanglah Dia Si Anak Hilang dan diterbitkan pada 1948.
“Penerbitan hasil terjemahan teks Andre Gide berjudul Pulanglah Dia Si Anak Hilang membuktikan kemampuan Chairil Anwar berbagi selera sastra ke pembaca Indonesia. Buku Pulanglah Dia Si Anak Hilang adalah rujukan penting untuk mengerti energi bahasa Indonesia. Chairil Anwar tentu bukan penerjemah sembrono. Buku ini bukti dari ketekunan berbahasai Indonesia dalam kerja sastra,” tulis esais-pegiat literasi Bandung Mawardi dalam blognya, bandungmawardi.wordpress.com.
Maka begitu mendapati buku karya Gide ada di antara buku-buku di rumah Sudjojono-Mia, Chairil langsung memuji buku itu. Setelah diberitahu Sudjojono bahwa buku itu didapatkan Mia di loakan, Chairil pun memuji si pemilik.
“Wah, wah! Perempuan yang tahu menyelamatkan Andre Gide dari loakan, seorang istri ideal Djon!” kata Chairil memuji Mia, dikutip Mia.
“Aku tahu, Chairil memang pemuja Andre Gide,” kata Mia.
Kedatangan Chairil sendiri hari itu ialah untuk minta dilukiskan potret dirinya oleh Sudjojono. Kendati Sudjojono menyanggupinya, Chairil tidak bisa mendapatkannya hari itu juga lantaran persediaan cat putih (zinkwit) Sudjojono tinggal sedikit. Maka Chairil pun diminta Sudjojono membawa cat yang dimaksud bila ingin dilukis.
Selang beberapa waktu kemudian, Chairil kembali datang dengan membawa satu kaleng besar zinkwit. Tentu hal itu membingungkan tuan rumah karena saat itu cat minyak saja sudah sulit didapat. Tapi Chairil tetap tak mau memberitahu dari mana cat itu diperolehnya. Maka pertemuan dilanjutkan dengan prosesi melukis-potret oleh Sudjojono. Chairil jadi modelnya.
“Tapi sesudah beberapa kali berpose, ia tidak pernah muncul lagi,” kenang Mia.
Tak jelas apakah lukisan-potret Chairil itu rampung atau tidak, yang pasti setelah pertemuan terakhir Chairil hilang bak ditelan bumi. Kabar tentangnya pun tak pernah sampai ke telinga Sudjojo-Mia.
Ketiadaan kabar itulah yang membuat Mia kaget ketika pulang menimbangkan putra sulungnya Tedjabayu, di pertengahan 1944, melihat Chairil di seberang jalan dengan kondisi mengenaskan. Pelupuk mata Chairil bangkak dan kebiruan, wajahnya sembab, dan jalannya sempoyongan. Di dekatnya, dua serdadu Kenpeitai mengiringinya sambil memaki dan menyodok sang pujangga menggunakan karaben mereka.
Meski Mia tak tahu pasti penyebab Chairil digelandang Kenpeitai, agaknya itu berhubungan dengan zinkwit yang tempo hari dibawa Chairil ketika meminta dilukiskan Sudjojono.
“Belakangan kami mendengar ia (Chairil, red.) ditangkap Kenpeitai karena zinkwit itu dicurinya dari Yamamoto, seorang pelukis Jepang peranakan Prancis,” kata Mia.