Peta lokasi peninggalan sejarah Pulau Penyengat (Heru Sukma Cahyanto/Shutterstock).
Pulau Penyengat disebut mas kawin sultan Melayu. Menyimpan bukti sejarah kerajaan Melayu.
Luasnya yang tak sampai 2 km membuat Pulau Penyengat bisa dikelilingi dengan berjalan kaki. Kendati mungil, Kerajaan Melayu Riau-Lingga pernah membangun ibu kota di sini.
Setidaknya 46 peninggalan cagar budaya terdapat di Pulau Penyengat. Ada yang masih utuh, tapi ada pula yang hanya pondasi atau dinding, seperti Masjid Raya Sultan Riau, Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII, perigi atau sumur, dan Benteng Bukit Kursi, serta bekas dermaga kuno.
"Beragam bangunan peninggalan sejarah yang terkait dengan peranan Pulau Penyengat sebagai pusat pertahanan, pemerintahan masa Kerajaan Riau-Johor dan Riau-Lingga," ujar Surjadi, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dalam seminar daring berjudul "Warisan Budaya Pulau Penyengat, Tantangan, dan Peluang Pelestarian serta Pengelolaannya" yang diadakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat.
Karenanya Pulau Penyengat dinobatkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dua tahun lalu. "Ini satu-satunya pulau seluas 1,12 km persegi yang pernah menjadi pusat kerajaan besar, bukan kerajaan kaleng-kaleng," kata Surjadi.
Titik Penting Kesejarahan
Marsis Sutopo, arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, menjelaskan bahwa Kerajaan Melayu di Kepualauan Riau berasal dari Melayu di Johor, di ujung Semenanjung Malaka. Ketika terjadi pertempuran dengan Belanda, pusat Kerajaan Melayu pindah ke Kepulauan Riau yang pusatnya di Pulau Bintan pada awal abad ke-18.
Dari sana, Sultah Mahmud Syah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Pulau Lingga pada 1787. Lalu pindah lagi ke Pulau Penyengat pada awal abad ke-20, dari tahun 1900–1911.
"Ada peperangan dengan Belanda, Pulau Penyengat ditinggalkan," kata Marsis.
Ketika membangun Daik Lingga, Sultan Mahmud Syah III juga membangun Pulau Penyengat. Konon, pulau ini menjadi mas kawin saat sultan menikah dengan Engku Putri.
"Terkenal sebagai Pulau Mas Kawin, karena saat Sultan Mahmud Syah meminang Raja Hamidah sebagai permaisuri, ia menjadikan Pulau Penyengat sebagai mas kawin, walaupun konteks mas kawin ini masih dalam perdebatan," kata Surjadi.
Namun, beberapa bangunan di Pulau Penyengat sengaja dihancurkan supaya tak diambil alih Belanda. "Dalam sejarahnya ada proses bumi hangus waktu Belanda mengambil alih," kata Surjadi.
Pulau Penyengat juga menyimpan titik kesejarahan penting terkait proses pemisahan kekuasaan Inggris dan Belanda di semenanjung. Pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah III di Lingga, Sultan Tengku Abdul Rahman menjadi penggantinya. Padahal, putra sulung sultan adalah Tengku Hussin.
Raja Hamidah sebagai pemegang regalia kerajaan tak merestui penobatan Tengku Abdul Rahman. Ia menolak menyerahkan regalia sebagai tanda ditabalkannya sultan. Menurutnya pentahbisan Tengku Abdul Rahman sebagai raja melanggar pakem kerajaan.
Inggris memanfaatkan situasi itu. Ketika Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London pada 17 Maret 1824, Inggris mengangkat Tengku Hussin sebagai Sultan Johor di Singapura.
"Ini yang akhirnya dimanfaatkan Inggris, yaitu ditabalkan Sultan Hussin di Singapura. Ini awal pecahnya Johor menjadi Riau-Lingga," kata Surjadi.
Sedangkan Sultan Abdul Rahman Syah bertahan sebagai Sultan Riau-Lingga dari 1824–1832.
Sayangnya, selama ini belum banyak yang mempelajari kota kuno di Pulau Penyengat. Tujuannya untuk merekonstruksi tata letak, misalnya rumah raja, alun-alun, dan rumah-rumah pejabat tinggi pada masa lalu.
"Ada bangunan istana, ini pusat istana atau rumah sultan? Ada juga bekas situs kedaton," ujar Marsis.
Dalam hal ini, rekonstruksi fungsi ruang juga memungkinkan untuk dikerjakan. Pasalnya sisa-sisa bangunan masih banyak yang bisa ditemukan.
Berbeda dengan di Daik, sisa istana tak lagi utuh. Kendati bangunan lainnya, seperti masjid sultan masih ada. Sedangkan di hulu sungai di Pulau Bintan, sisa bangunannya hanya sedikit. Lebih sulit untuk membayangkan bagaimana tata kotanya.
"Bisa dibandingkan (Pulau Penyengat, red.) dengan tata kota di Daik. Dari sana bisa diambil kesimpulan, bagaimana tata kota pada masa Melayu Kepulauan, baik di Daik maupun di Penyengat," kata Marsis.
Selama ini kajian di Pulau Penyengat kebanyakan berkaitan dengan masalah zonasi bagi perlindungan situs-situs cagar budaya. "Ini tantangan baru untuk melakukan kajian di Pulau Penyengat. Tata kota Pulau Penyengat sebagai pusat kerajaan tentu punya," ujar Marsis.
Menurut Marsis, peristiwa lokasi pemerintahan Melayu Johor yang berubah menjadi Riau-Lingga Daik merupakan hal menarik. Tantangannya membangun narasi Kerajaan Melayu yang waktu itu bisa menguasai dunia maritim atau laut di sekitar Selat Malaka dan Kepulauan Riau sendiri.
"Ini hal menarik," ujar Marsis, "Ini bukan kerajaan daratan tapi yang warna lautnya lebih banyak, ada pelabuhannya. Ini pusat kerajaan yang berbasis pada kelautan."