Ilustrasi. Rudal Balistik
TRANSKEPRI.COM.LONDON- Inggris, Perancis dan Jerman menuduh Iran tengah mengembangkan rudal balistik berkemampuan nuklir. Hal ini diungkap dalam sebuah surat yang disebut Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif sebagai "kepalsuan yang putus asa", Kamis (5/12/19).
Dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Duta besar PBB untuk ketiga negara mengatakan bahwa tindakan Iran "tidak sejalan" dengan resolusi PBB yang mengabadikan perjanjian nuklir 2015 dengan Iran.
Namun di Twitter, Zarif mengatakan orang-orang Eropa itu berusaha menutupi "ketidakmampuan mereka yang menyedihkan" untuk mematuhi perjanjian nuklir dan "tunduk pada intimidasi AS".
Surat itu dilayangkan berdasarkan cuplikan video yang viral di media sosial pada April tahun ini. Video itu menunjukkan uji terbang varian rudal balistik jarak menengah Shabab-3 yang baru. Secara teknis, rudal ini mampu membawa senjata nuklir.
Ketiga negara Eropa ini juga menunjuk tiga peluncuran rudal lainnya tahun ini, termasuk Borkan-3. Ini adalah rudal balistik baru Iran dengan jelajah jarak menengah yang diuji oleh pasukan Houthi yang didukung Iran di Yaman pada 2 Agustus.
Surat yang bertanggal 21 November itu mengatakan kalau uji penerbangan ini adalah "yang terbaru dari serangkaian kemajuan panjang dalam teknologi rudal balistik Iran".
Seruan ini lantas dibalas Duta Besar Iran untuk PBB. Ia pun berkirim surat yang mengatakan kalau negara Eropa ini menggunakan "sumber yang tidak dapat diandalkan" dan "laporan usang" atas tuduhan tersebut.
"Iran bertekad untuk terus melanjutkan dengan tegas kegiatannya terkait dengan rudal balistik dan wahana peluncuran ke ruang angkasa. Keduanya berada dibawah payung hukum internasional," kata surat itu.
Iran selalu membantah rencana untuk mengembangkan rudal nuklir dan mengatakan program nuklirnya hanya untuk produksi energi yang damai dan keperluan medis.
Dalam kesepakatan pada 2015, PBB memberi Iran bantuan dari sanksi ekonomi dengan syaarat agar negara itu membatasi program nuklir mereka.
Namun, perjanjian ini diambang kehancuran karena Presiden AS Donald Trump menarik diri secara sepihak dari kesepakatan ini Mei tahun lalu. Ia bahkan menambahkan sanksi terhadap Iran.
Perjanjian itu dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang telah disepakati antara Inggris, Cina, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat.
Dua belas bulan setelah penarikan AS, Iran mulai mengurangi komitmennya pada kesepakatan itu. Negara itu berharap bisa mendapat konsesi dari pihak-pihak yang masih terikat dalam perjanjian tersebut.
Setelah terjadi tindak kekerasan mematikan di Iran akibat kenaikan harga bahan bakar, Presiden Hassan Rouhani bersedia kembali ke meja perundingan, Rabu (4/12). Namun, ia meminta Amerika Serikat untuk mencabut sanksi.
Dalam sambutannya, Rouhani mengatakan pemerintahnya berusaha untuk tetap dalam perjanjian nuklir meskipun berada di bawah "tekanan". (009/cnnindonesia)