TRANSKEPRI.COM. HONG KONG - Azim Premji, orang kaya India, membuat sejarah sebagai miliarder paling dermawan di Benua Asia. Premji mendonasikan USD7,6 miliar (Rp107,16 triliun) saham Wipro untuk yayasan pendidikannya. Donasi sebanyak itu bukan kali ini saja dia tunaikan. Sepanjang hidupnya Premji tercatat telah menyumbangkan hartanya ke yayasan tersebut hingga mencapai USD21 miliar (Rp296 triliun).
Yayasan yang didirikan pada 2000 itu telah bekerja sama dengan 200.000 sekolah publik di seluruh India. Mereka juga melatih para guru dan memberikan kurikulum terbaik dengan berbagai inisiatif dan bantuan lainnya. “Premji menjadi teladan bagi kita semua. Saya berharap banyak orang yang mengikuti keteladanannya,” kata Anu Aga, miliarder asal India, seperti dilansir Forbes.
Premji merupakan satu dari 30 figur di Asia yang dipilih oleh Forbes sebagai Pahlawan Filantropi Ke-13. Selain didominasi miliarder, sejumlah selebritas Asia juga masuk dalam jajaran pahlawan filantropi tersebut. Mereka antara lain Angel Lacosin, salah satu aktris ternama asal Filipina yang memberikan dukungan bagi korban kekerasan, bencana alam, dan konflik di Mindanao.
Miliarder Australia Judith Neilson juga masuk dalam jajaran miliarder dermawan karena mendukung jurnalisme yang lebih independen dengan mendirikan Judit Neilson Institute for Journalism & Ideas di Sydney. Untuk membantu lembaga ini, dia menggelontorkan bantuan senilai USD72 juta (Rp1,01 triliun). Jeffrey Cheah, 74, Chairman Sunway Group asal Malaysia juga telah mendonasikan sekitar USD39 juta (Rp549 miliar) untuk beasiswa dan pendidikan sekolah menengah.
Sedangkan Suh Kyung-bae, 56, CEO Amorepacific asal Korea Selatan menyumbangkan USD9 miliar (Rp126 miliar) untuk yayasan Sains Sung Kyung-bae agar para ilmuwan bisa melakukan penelitian di bidang syaraf dan genetik.
Pengusaha asal Indonesia Theodore Rachmat, 76, pendiri Triputra Group, juga masuk dalam jajaran miliarder Asia paling dermawan. Pengusaha agrobisnis dan tambang ini mendonasikan USD5 juta (Rp70,5 miliar) kepada A&A Rachmat Compassionate Service Foundation yang mendukung pendidikan, pelayanan kesehatan, dan panti asuhan. Sejak diluncurkan pada 1999, yayasan tersebut telah memberikan bantuan USD12,5 juta (Rp176 miliar) untuk 21.000 penerima.
Untuk menjamin siswa tetap bersekolah dan belajar secara efektif sejak dini, yayasan tersebut juga melakukan pelatihan tahunan kepada guru sekolah dasar. Pada 2005 yayasan tersebut juga memperluas bantuan ke ranah kesehatan dengan mendirikan klinik di berbagai perdesaan dengan biaya pelayanan kurang dari USD2 per kunjungan.
Miliarder asal Indonesia lainnya adalah Belinda Tanoto, 34, dan Anderson Tanoto, 30. Keduanya merupakan direktur Royal Goden Eagle. Belinda dan Anderson memimpin filantropi keluarga melalui Yayasan Tanoto. Keluarga Tanoto telah mendonasikan USD16,7 juta (Rp235 miliar) atau meningkat 30% dari 2018. Bantuan itu khusus untuk mendukung pendidikan bagi semua usia dari anak-anak hingga universitas.
Bantuan tersebut juga bertujuan mencegah anak yang mengalami pertumbuhan terhambat (stunting) di Indonesia. Belinda lebih fokus aktif pada yayasan yang fokus pada pengembangan pendidikan anak-anak. Yayasan tersebut telah melatih 15.000 guru dan mendanai 7.500 beasiswa bagi mahasiswa.
Keluarga Tanoto adalah penguasa Royal Golden Eagle yang memiliki banyak saham di berbagai perusahaan di Asia. Orang tua mereka, Sukanto dan Tinah Bingei Tanoto, memulai aksi filantropinya sejak 1980-an. Bukan hanya di Indonesia, yayasan tersebut juga memberikan bantuan hingga ke China, di mana mereka fokus memberikan pelatihan bagi orang tua di wilayah pedesaan. Khusus di Singapura, yayasan tersebut juga mendukung penelitian mengenai penyakit di Asia. Adapun Anderson Tanoto secara khusus menyediakan sepertiga waktunya untuk pelatihan kepemimpinan dan mendukung sustainable development goals Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jack Ma dari China yang baru-baru ini mendapatkan Malcolm S Forbes Lifetime Achievement Award setelah mengundurkan diri dari chairman Alibaba juga masih aktif di dunia filantropi. Pria yang menghabiskan waktu selama dua dekade untuk membangun Alibaba Group di Kota Hangzhou ini dikenal sebagai pengusaha yang dermawan dengan berbagai inisiatif sosial yang diusungnya. “Orang mengatakan saya merupakan salah satu orang terkaya di China, tetapi saya berpikir itu bukan uang saya,” kata Jack Ma. “Itu adalah uang yang orang berikan karena percaya kepada kamu dan kamu ingin membelanjakannya dengan cara yang lebih baik dan lebih cerdas,” paparnya.
Selepas tidak lagi menjabat Chairman Alibaba, Jack Ma bertekad akan menghabiskan banyak waktunya di bidang pendidikan, filantropi, dan lingkungan. Jack Ma memiliki berbagai program filantropi. Pada 2016 dia fokus membantu ibu-ibu di perdesaan China. Sebanyak 20.000 ibu-ibu mendapatkan pelatihan dan pendanaan gratis untuk menjadi pengusaha online. Sejak 2010 Alibaba menyumbangkan 0,3% pendapatan untuk amal. Dengan pendapatan USD56 miliar pada 2019, 0,3% nilai filantropi Alibaba mencapai USD168 juta. (ssb/sindonews)