Direktur Forum Masyarakat Bersih Riau (FORMASI RIAU), Dr. Muhammad Nurul Huda,SH.,MH
TRANSKEPRI.COM, PEKANBARU - Ada 11 (Sebelas) perusahaan terbukti melakukan karhutla dan pembalakan liar. Mereka harus membayar kompensasi dengan total Rp 18 triliun. Ini karena gugatan perdata yang dilayangkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) terhadap sejumlah perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta pembalakan liar telah dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Kasusnya sendiri terjadi antara 2012 sampai 2018, dengan melibatkan 11 perusahaan. Sembilan kasus sudah incracht (berkekuatan tetap) di tingkat pengadilan negeri.
Di Provinsi Riau setidaknya ada beberapa perusahaan, yakni:
1. PT Jatim Jaya Perkasa terbukti merusak lingkungan dan bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas seribu hektare pada 2013. Kementerian LHK menang gugatan atas permohonan denda terhadap perusahaan sawit itu sebesar Rp 491 Milliar,
2. PT. National Sago Prima, juga ikut menyumbang kebakaran lahan pada 2014 seluas 3 ribu hektare. MA akhirnya mengabulkan tuntutan kompensasi Kementerian LHK sebesar Rp1,07 triliun, 3. PT Merbau Pelalawan Lestari, bahkan dituntut membayar denda sebesar Rp16,2 Triliun. PT MPL dihukum atas kasus pembalakan liar di atas lahan konsesi seluas 5.590 hektare di Riau pada 2013.,
Faktanya seperti yang ditemukan Greenpeace, hingga saat ini tak ada satu pun dari sembilan perusahaan yang kasusnya sudah incracht membayar denda ke negara. Jika dikurangi dengan kompensasi yang harus dibayarkan PT Merbau Pelalawan Lestari, maka total denda aktual yang harus dibayar akibat karhutla sebesar Rp1,9 triliun. Jika merujuk pada laporan Bank Dunia, angka ini masih di luar jumlah kerugian ekonomi yang disebabkan bencana karhutla pada 2015, yang dikalkulasikan mencapai Rp 221 triliun.
Greenpeace mengatakan pada tahun 2018 Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut sudah ada pembayaran denda sebesar Rp 32 miliar. Namun Menteri LHK tak menyebut spesifik nama perusahaan yang dimaksud. Usut punya usut, pembayaran denda tersebut terkait kasus perusakan lingkungan hidup dari dua perusahaan tambang: Selat Nasik Indokwarsa dan Simpang Pesak Indokwarsa. Artinya, itu di luar kasus karhutla dan pembalakan liar.
Namun laporan dua perusahaan itu ikut dicantumkan dalam tiap siaran pers terkait 'kemenangan' Kementerian LHK dalam kasus karhutla.
Greenpeace Indonesia, menilai upaya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan menjadi sia-sia jika gugatan yang sudah dikabulkan pengadilan tidak dieksekusi. “Apa yang dilakukan KLHK itu belum cukup. Karena denda-denda itu belum bisa dieksekusi. Kalau dilihat, itu kan nilai dendanya sudah cukup besar. Kalau tidak dibayar, itu tidak memberi efek jera. Perusahaan tidak akan punya keinginan untuk membayar kalau pengadilan dan pemerintah tidak mengeksekusi pembayaran itu.
Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian KLHK, Jasmin Ragil Utomo, membenarkan apa yang dikatakan Greenpeace, bahwa belum ada satu pun dari mereka yang membayar. Tapi dia memastikan KLHK tengah memproses itu. PT MPL yang harus menanggung kompensasi sebesar Rp 16,2 triliun, sudah dalam proses aanmaning.
Greenpeace menyatakan bahwa, merujuk pada laporan Bank Dunia, kerugian ekonomi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 mencapai Rp. 221 Triliun.
Melihat dari semua kejadian tersebut, FORMASI RIAU menyatakan bahwa, apa harus datang bencana karhutla di Riau lagi sehingga Pak Syamsuar selaku gubernur riau (gubri) baru berani mengambil sikap tegas untuk mengevaluasi perizinan korporasi yang ada di bumi lancang kuning.
Kami pikir ini adalah saat yang tepat bagi gubri untuk mewujudkan niat baiknya untuk rakyat riau. Karena kami khawatir jika ini dibiarkan berlarut-larut akan menurunkan kepercayaan rakyat kepada gubri.
Terlebih lagi KPK telah menyatakan ada 1 juta lahan yang belum tertib di riau. Kami berpendapat gubri punya kewenangan untuk menertibkan lahan 1 juta hektar seperti yang disampaikan KPK, hal ini tertuang dalam Pasal 65 UU Pemda.
Apabila Gubernur Riau tidak melaksanakan kewenangannya dengan cara mengevaluasi perizinan yang dikeluarkan oleh gubernur sebelumnya serta dikemudian hari ditemukan perizinan-perizinan korporasi yang berbentuk HGU/HTI yang masih bermasalah, Gubri bisa dijerat dengan perbuatan korupsi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian Press Release Sikap Hukum ini Kami buat, jika ada yang bertanya silahkan melalui WA 0822 2564 7238. Terimakasih
Pekanbaru, 2 Juli 2019
Direktur FORMASI RIAU
DR. Muhammad Nurul Huda, SH. MH