Vaksin dan Obat Dinasti

Kamis, 20 Agustus 2020

Chaidar Rahmat

Oleh: Chaidar Rahmat

Pengamat Politik di Tanjungpinang

 

TULISAN ini sebagai renungan atas maraknya issue politik dinasti yang akhir-akhir ini mengemuka. Isue yang sesungguhnya mengungkap praktek oligopoli kekuasaan yang banyak mengidap elit politik. Kata oligopoli menunjuk pengertian system dan mekanisme pasar yang tidak sempurna. Dalam politik, kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir elit, cenderung tertutup dan tentulah mendistorsi hakiki system demokrasi. 

Sebab demokrasi bermakna adanya kompetisi. Demokrasi juga berarti pemilihan yang bersifat terbuka yang mempresentasikan kehendak mayoritas pemilih. Walau isue politik dinasti kecenderungannya terjadi di Daerah, namun bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan melebar menulari politik nasional di Pusat. 

Karena itu issue politik dinasti lebih banyak dibicarakan saat suksesi kepemimpinan di Pilkada yang saat ini proses dan tahapannya sedang berlangsung. Isue politik dinasti seolah wabah penyakit yang menular secara cepat dan meluas menjadi epidemic.

Namun bersamaan dengan epidemic politik dinasti ini, sebagaimana halnya setiap issue politik yang selalu ada peluang memanipulasi, mengoreng dan menggiringnya menjadi politik kepentingan, maka perlu diwaspadai adanya infodemic. 

Ketika info, kabar dan fakta tentang fenomena politik dinasti itu disimpangkan dan dilebih-lebihkan menjadi sesuatu ancaman yang menakutkan yang disebut sebagai patalogi system politik dan demokrasi secara berlebihan maka ketika itu sudah terjadi infodemic politik dinasti. Epidemic dan infodemic dalam politik dinasti akan selalu ada dan bersaing, mendistorsi dan mengkoreksi untuk sebuah alasan yang sama yakni penyembuhan dan kesehatan demokrasi.     

Kata dinasti dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang yang menduduki suatu jabatan tertentu karena mewarisi secara turun temurun dari orang yang menentukan pengangkatannya. Jadi bukan karena berdasarkan adanya kontestasi dalam suatu persaingan yang dipilih secara terbuka yang dapat diikuti oleh siapa saja yang bersedia berkompetisi sesuai kriteria dan syarat-syarat pemilihan. 

Apakah benar batasan politik dinasti seperti inilah yang sekarang ini menggejala dan menjadi issue pembincangan ramai saat menjelang Pilkada yang diperkirakan berlangsung Desember nanti?. Apakah orang-orang yang sekarang ini sedang menduduki suatu jabatan atau memiliki peran penting di jabatan dimaksud sebagian besarnya adalah cenderung mengangkat atau mendudukan sanak keluarga dan kerabat dekatnya untuk posisi kontestasi dalam persaingan oligopoly untuk pemilihan Kepala Daerah ataupun Anggota Legislatif?.

 Lalu, apakah jika kemudian sanak keluarga atau kerabat terdekat orang-orang dimaksud berhasil terpilih sebagai Kepala Daerah atau Anggota Legislatif, cenderung akan melakukan hal yang sama, atau bisakah dibuktikan bahwa orang-orang yang diberi stigma pelaku politik dinasti itu ketika mendapatkan jabatan dan peran menentukan itu diperoleh dari warisan pengangkatan dari orang tuanya atau kerabat dekatnya?. Saya ingin membatasi lingkup dua pertanyaan di atas pada praktek politik dinasti di Kepri. 

Hal ini agar mudah dipahami sebagai fenomena konkret yang dekat dengan penilaian kita sehari-hari. Bahwa adanya kenyataan pencalonan figure-figur untuk kandidat Calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan adanya kenyataan hubungan kekerabatan di berbagai jabatan Kepala Daerah dan Anggota Legislatif Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kepri yang berkelindan dengan kekuasaan partai baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.  

Pertanyaan pertama terkait dengan kecendrungan orang-orang yang memegang jabatan baik sebagai kepala daerah maupun yang memiliki peran penting dan berkelindan dengan kekuasaan partai politik menunjuk dan mengangkat sanak keluarga dan kerabat terdekatnya.

Pertanyaan ini jika dianggap sebagai penyimpangan dalam proses demokrasi dan memenuhi batasan dari konsep politik dinasti, maka kerusakan dan permasalahan apakah yang akan ditimbulkan. Penting untuk kita mengungkap, mengidentifikasi, memperkirakan kerusakan yang ditimbulkan dari praktek politik dinasti ini adalah agar dapat dikenali dan dipahami anasir yang menjadi biang dari timbulnya politik dinasti ini. 

Sebab di tahap pengangkatan calon untuk mengikuti kontestasi terbuka yang akan dipilih oleh masyarakat ini, kerusakan dan permasalahan yang ditimbulkan masih bersifat potensi karena terbatasnya persaingan dan pilihan untuk kandidasi calon. Dengan perkataan lain upaya pencegahan atau preventif akan dapat dilakukan jika dapat dikenali dan dihilangkan anasir yang menjadi biang timbulnya politik dinasti. 

Mengenali karakteristik “virus” yang menjadi penyebab endemic adalah agar upaya menemukan vaksin dapat mencegah penularan penyakit yang menimbulkan pandemic.

Pemahaman terhadap karakteristik virus inilah yang menyebabkan dapat ditemukan vaksin yang didesign berfungsi melemahkan daya kembang biaknya virus. Pemahaman karakteristik virus juga menyebabkan dapat ditemukan vaksin yang mampu menangkal terpaparnya tubuh dari serangan virus. 

Virus penyebab epidemic politik dinasti ini menulari orang-orang memegang jabatan penting public baik sebagai Kepala Daerah maupun elit parpol yang memiliki kekuasaan untuk pengangkatan sanak keluarga dan kerabat dekatnya. 

Membatasi persaingan adalah ciri terpenting yang akan dilakukan oleh patron dinasti atau kelompok orang yang memegang jabatan penting menentukan bakal calon yang akan diajukan dalam kontestasi pemilihan. Hal ini dilakukan dalam suatu proses seleksi yang seolah-olah memenuhi prosedur demokrasi di institusi partai, walau sebenarnya banyak mengenyampingkan kriteria seleksi yang bersifat substansial. 

Instrument yang menjadi tolok ukur kapabilitas, aksesibilitas, popularitas yang kemudian diyakinkan lewat “like ability” untuk keterpilihan lewat survey-survey jajak pendapat disematkan sebagai atribut hasil proses seleksi “isi tas” dari sanak keluarga dan kerabat dekat patron dinasti. Isi tas pada akhirnya menjadi tolok ukur yang terlintas dalam bayang-bayang patron dinasti menjamin sukses memenangkan kompetisi pemilihan. 

Vaksin dinasti dengan demikian adalah sederetan fungsi dan kemampuan yang membatasi penggunaan isi tas sekaligus berkemampuan membuka batasan-batasan seleksi agar tersedia lebih banyak peluang dan pilihan. Deretan fungsi-fungsi tersebut tidak cukup dilakukan lewat pembatasan-pembatasan dalam regulasi, tapi harus diikuti dengan penguatan perkaderan dan berfungsinya seluruh elemen pengawasan seperti Dewan Pertimbangan, Dewan penasehat dan pakar di institusi partai yang ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Pertanyaan kedua terkait dengan kecendrungan apakah praktek politik dinasti ini akan berlangsung secara terus menerus menjadi suatu system dalam recruitment calon atau hanya bersifat temporer sebagai sebuah penyimpangan anamoli kecil yang oleh mekanisme system besarnya dapat segera dikoreksi.

  Apakah jika kemudian sanak keluarga atau kerabat terdekat orang-orang dimaksud berhasil terpilih sebagai Kepala Daerah atau Anggota Legislatif, cenderung akan melakukan hal yang sama, mengangkat sanak keluarga dan kerabat terdekatnya untuk menduduki posisi jabatan public yang sama. Atau bisakah dibuktikan bahwa orang-orang yang diberi stigma pelaku politik dinasti saat ini, ketika mendapatkan jabatan dan peran menentukan itu diperolehnya dari warisan pengangkatan dari orang tuanya atau kerabat dekatnya. 

Nyaris hampir semua stigma pelaku dinasti yang menjadi issue pembincangan publik adalah individu-individu yang menempuh jalur rekruitmen penempaan yang panjang hingga mencapai sukses menduduki jabatan penting baik sebagai Kepala Daerah maupun elit pimpinan pemegang kekuasaan partai.

Di Kepri misalnya almarhum H.M Sani dan H. Syahrul, H Muhd Rudi, Husnizar Hood, H. Lisdarmansyah, H. Suryo Respationo, Apri Sujadi, Agus Wibowo, Ansar Ahmad, Alias Wello, Daeng Rusnadi, adalah nama-nama yang dikenal gigih, jungkir balik, jatuh bangun dalam meraih setapak demi setapak posisi jabatannya baik sebagai Kepala Daerah maupun elit yang memegang kekuasaan di parpol.

Lalu, dengan reasoning apa kita bisa memastikan bahwa figure-figur calon yang dikaitkan dengan nama-nama tersebut di atas akan meneruskannya jika mereka sukses terpilih, atau mereka-mereka yang bahkan sudah dan sedang menduduki jabatan di legislative misalnya akan mengangkat sanak keluarga dan kerabat terdekatnya meneruskan recruitment politik dinasti ini?.

Figur-figur calon dimaksud misalnya Hj. Marlin Agustina, H. Isdianto, Robi Kurniawan, Neko Wesha P, atau mereka yang sudah dan sedang menduduki jabatan di legislative, misalnya M. Apriandi, Widiastadi Nugroho, Yuniarni Weni, Deby maryati, Eis Aswati, Putera Respaty, Aldio Diaz P, Ngesti Yuni S, Rosiani akan menggunakan posisi dan jabatannya melanjutkan mengangkat sanak keluarga dan kerabat dekatnya untuk posisi jabatan public di masa mendatang ?. Pertanyaan ini menjadi penting diajukan agar menggugah kesadaran bahwa hakikinya peraktek politik dinasti itu bersifat temporer.

Fenomena recruitment ala politik dinasti ini sesungguhnya merupakan fenomena temporer, sesaat yang bersifat anomaly kecil yang segera akan hilang dan terkoreksi oleh system besar demokrasi. Fenomena ini dan berbagai jenis patalogi demokrasi lainnya akan selalu muncul saat system besar demokrasi mengalami proses entropy, atau ketidak teraturan, lusuh dan saatnya membutuhkan perbaikan-perbaikan.

Seperti halnya flue ringan, maka seandainyapun tidak diobati, virus penyebab penyakit politik dinasti ini juga akan sembuh dengan sendirinya melalui system imunitas tubuh demokrasi. 

Seandainya virus penyebab flue ini diasumsikan seperti covid-19 yang meski tidak berbahaya terhadap angka kematian namun menyebabkan penularan yang cepat atau pandemic maka disamping vaksin juga diperlukan obat penyembuhnya.

Kita berharap obat penyembuh tersebut segera dapat ditemukan sebagaimana harapan kita terhadap obat penyembuh covid-19 yang diyakini dalam kurun waktu priode pasca pilkada desember 2020 mendatang akan dilounching sebagai kebijakan politik yang baru. Waulahualam bissawab.(***)