Cerita Kawasan Batam Center yang Awalnya Kurang Diminati Investor

Selasa, 14 Juli 2020

Salahsatu wilayah di Batam Center

TRANSKEPRI.COM.BATAM- Rahardi Subandrio melongok ke bilik mesin mini morris Austin-nya yg mogok di perempatan jalan sekitaran Dataran Engku Putri 1983. Engku Putri dan area sekitar yang oleh Otorita Batam diformat menjadi civic center, pada tahun ini masih dikepung hutan mangrove dan baru start digesa pembangunannya.

Gedung baru Otorita Batam belum lagi dikonstruksi. Akses jalan pun tengah dibuka dan hampir seluruhnya masih berpermukaan tanah.

Soeryohadijatmiko, Kasatlak Otorita Batam ketika saya wawancarai untk menggali data penulisan buku Sejarah Otorita Batam (2006), bertutur, Batam Center di era awal adalah zona yang paling sulit dikembangkan. Ia telah berusaha keras membujuk para tauke di Jodoh dan Nagoya agar mau berinvestasi.

"Saya bilang ke mereka, ayo bikin kepala naga baru di Batam Center. Bahkan sudah saya iming2 insentif UWTO, tapi mereka tak mau. Bersikukuh menguatkan konsentrasi di Jodoh dan Nagoya yg dianggap sebagai kepala naga," tegasnya.

Toh demikian, Otorita Batam tak patah arang dan terus menggesa pembangunan Batam Center dgn mengawali pendirian Gedung BIDA, lalu perlahan diikuti gedung-gedung pemerintah lainnya seperti Kantor Imigrasi, Gedung Wali Kota Batam, Bank Indonesia, Kantor DPRD, dll hingga Mesjid Raya.

Bersamaan dengan itu, satu per satu pengusaha swasta ikut nimbrung dan mulai melirik Batam Center. Alhasil, muncul Tithes Plaza, Mymart, Mega Mall, Batam Center Ferry Terminal, Carnaval Mall, Gedung Telkomsel, komplek pertokoan, dll.

Hingga menginjak milenium awal 2000, Batam Center telah bertransformasi menjadi satu-satunya zona paling terintegrasi di Batam: pusat pemerintahan, sentra niaga sekaligus kantong pemukiman.

Andai sekarang Soeryohadijatmiko masih jadi kasatlak, ada yang nolak ajakannya gak, ya?. (tm)