Ikan Sapu-sapu
TRANSKEPRI.COM.PADANG- Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Padang, Sumatera Barat, Rudi Barmara, mengatakan, dalam 152 spesies ikan yang tergolong invasif atau berbahaya itu tidak hanya merupakan ikan dari luar Indonesia, tapi juga termasuk ikan lokal.
Seperti halnya ikan sapu-sapu yang merupakan ikan yang telah lama berkembang di kawasan sungai Indonesia, yang juga tergolong invasif.
Sesuai dengan Permen-KP No. 41 tahun 2014 tentang larangan pemasukan jenis ikan berbahaya dari luar negeri ke dalam wilayah negara RI yang diperkirakan dipelihara kolektor di Padang adalah ikan Arapaima gigas, Piranha, Aligator, Peacock Bass, Convic Cichlid, termasuk Sapu-sapu, dan 152 spesies ikan invasif lainnya.
"Kita di BKIPM mendapat mandat untuk menarik ikan-ikan invasif dari masyarakat, baik itu yang menjadikan ikan invasif sebagai ternakan maupun yang berupa kolektor ataupun yang hobi memelihara ikan invasif," katanya.
Ia menyebutkan, di hari pertama dibukanya posko penyerahan ikan di BKIPM Padang, ada sekitar 14 ekor ikan invasif yang telah diterima oleh BKIPM yang diserahkan secara sukarela oleh komunitas ikan ke BKIPM yang berkantor di Jalan Raya Bandara Internasional Minangkabau.
Di antara 14 ekor itu, ada 10 ekor ikan sapu-sapu yang diserahkan dari komunitas ikan predator di Padang ke BKIPM.
Rudi menyebutkan, alasan ikan sapu-sapu masuk dalam golongan ikan invasif karena ikan itu dahulunya berasal dari Ekuador, Peru. Kini, ikan sapu-sapu sudah sangat berkembang di Indonesia, termasuk di wilayah Sumatera Barat. Hal ini yang membuat BKIPM berharap adanya sukarela masyarakat untuk menyerahkannya ke BKIPM, sebelum ada tindakan hukum.
Terkait ikan sapu-sapu, ia menjelaskan, ikan dengan nama ilmiah Glyptoperichthys gibbiceps ini merupakan ikan yang memiliki warna tubuh cokelat hitam kekuningan dengan sirip punggung yang besar.
Ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai ukuran panjang total 50 cm dan dapat hidup lebih dari 20 tahun. Ikan dari famili Loricariidae ini memiliki nama lain atau sinonim Ancistrus gibbiceps dan Pterygoplichthys gibbicep.
Hal yang membuat ikan sapu-sapu disebut ikan invasif, karena dampak yang dapat ditimbulkan oleh ikan sapu-sapu meliputi perubahan struktur lingkungan perairan, gangguan rantai makanan, persaingan dengan spesies endemik dalam hal pemanfaatan sumber daya penting seperti makanan dan ruang hidup, perubahan komunitas tumbuhan air, dan kerusakan pada alat tangkap ikan.
"Jika ikan dibiarkan berkembang biak di sungai, maka ikan-ikan kecil yang ada di sekitarnya bisa habis. Akibatnya, sapu-sapu menguasai perairan, baik itu di laut maupun di sungai ataupun di danau. Untuk itu, kita harap kepada masyarakat, jangan membuang ikan jenis invasif itu ke perairan sungai di Indonesia," jelasnya.
Sedangkan terkait ikan sapu-sapu yang telah berkembang di perairan Sumatera Barat, BKIPM berencana untuk mengajak masyarakat menangkap ikan jenis sapu-sapu dan diserahkan ke BKIPM. Namun untuk rencana itu, akan dibahas terlebih dahulu dengan kementerian.
"Sejauh ini kita masih terus menunggu adanya langkah sukarela dari masyarakat yang memiliki ikan invasif atau berbahaya yang ada di wilayah Sumatera Barat. Karena sesuai aturan yang ada diberi waktu bagi masyarakat menyerahkan sukarela. Lewat dari waktu itu, jika ditemukan, akan ada langkah hukum," tegasnya.
Ketua Komunitas Ikan Predator Minang (KIPMI), Rifki Prabowo, mengaku sempat terkejut adanya pernyataan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait 152 spesies ikan invasif itu, termasuk ikan sapu-sapu.
Ia mengaku dirinya maupun komunitas ikan predator yang ia pimpin kebanyakan mengoleksi ikan predator yang berkembang di perairan Indonesia atau disebutkan dengan ikan predator lokal, bukan ikan yang datang dari luar Indonesia.
"Ikan sapu-sapu itu kita beli dari seseorang. Kenapa ikan sapu-sapu turut kita koleksi, karena penampilan ikannya indah serta sangat menarik ketika dimasukan ke dalam aquarium,” sebutnya.
Namun, dengan adanya peraturan menteri, maka ikan sapu-sapu miliknya diserahkan secara sukarela ke BKIPM.
Menurutnya, ikan sapu-sapu yang ada di komunitasnya tergolong banyak, dan yang baru diserahkan ke BKIPM baru ada 10 ekor dengan ukuran yang kecil, yakni 10-15 cm. Hal ini karena belum semua anggota komunitas sepakat untuk menyerahkan koleksi ikan predator ke BKIPM.
Bahkan Rifki menyebutkan pernah menemui komunitas ikan lainnya yang ada di Sumatera Barat, yang mengoleksi ikan piranha. Akan tetapi dia tidak mengetahui pasti apakah ikan piranha masih ada atau tidak. Ia juga menyatakan, akan berupaya mengajak para kolektor ikan predator supaya mau menyerahkan ikan koleksinya secara sukarela ke BKIPM.
"Saya tidak mau berurusan dengan hukum. Jadi dengan adanya waktu tenggat yang diberikan oleh kementerian, bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, sebelum habis waktunya, dan akan ada sanksi hukum," ungkapnya. (tm)