Ketua Jaringan Safe Migran, Romo Paschal dan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kepri, Rinaldi Samjaya saat berada di kantor LBH SMSI Kepri. (ist)
TRANSKEPRI.COM.BATAM- Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Batam, Kepulauan Riau, menjadi sorotan serius sepanjang tahun 2024. Data dari Jaringan Safe Migrant (JSM) menunjukkan bahwa dari total 181 kasus yang melibatkan 209 korban, 18,8% di antaranya adalah kekerasan seksual. Mirisnya, pelaku kekerasan ini didominasi oleh orang-orang terdekat korban.
Ketua Jaringan Safe Migrant, Chrisanctus Paschalis Saturnus yang akrab disapa dengan Romo Paschal, mengungkapkan bahwa 44,2% pelaku kekerasan seksual adalah keluarga dekat korban, sementara 31,7% lainnya adalah teman dekat. Hanya 11,7% pelaku yang merupakan orang asing. Fakta ini menegaskan bahwa ancaman terbesar justru berasal dari lingkungan terdekat, tempat korban seharusnya merasa paling aman.
“Keluarga dan teman dekat yang seharusnya melindungi, malah menjadi ancaman. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan yang sangat menyakitkan bagi korban,” ujar Romo Paschal saat peringatan Hari Migran Internasional di Batam, Rabu (18/12/2024).
Jaringan Safe Migrant mencatat berbagai kendala dalam menangani kasus-kasus ini. Biaya visum yang tinggi, keterbatasan layanan, serta kurangnya sensitivitas gender di kalangan aparat penegak hukum menjadi hambatan utama. Selain itu, intervensi keluarga pelaku untuk berdamai dan korban yang enggan melapor memperumit proses hukum.
“Kami menghadapi kasus di mana keluarga korban justru tidak mendukung atau bahkan menekan pendamping untuk mencabut laporan. Ini membuat pemulihan korban menjadi semakin sulit,” kata Romo Paschal.
Untuk membantu para korban, Jaringan Safe Migrant menyediakan berbagai layanan, termasuk rumah aman, konseling, pemeriksaan psikologis, dan bantuan pendidikan. Namun, tanpa dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah, upaya ini tidak akan cukup untuk menghentikan siklus kekerasan.
Romo Paschal menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus dengan perspektif korban dan sensitivitas gender. Selain itu, pemerintah diharapkan mengalokasikan anggaran untuk biaya visum dan memberikan pendampingan yang memadai bagi korban.
“Regulasi terkait perempuan, anak, dan pekerja migran harus segera dibuat dan diimplementasikan. Gugus tugas TPPO juga perlu diaktifkan kembali di tingkat kota dan provinsi,” tegasnya.
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan orang dekat ini menjadi pengingat bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak hanya membutuhkan perhatian hukum, tetapi juga perubahan budaya dan sistem perlindungan yang komprehensif. Kepercayaan yang dilanggar adalah luka mendalam yang membutuhkan pemulihan panjang, baik secara psikologis maupun sosial.
Romo Paschal, menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2024 ini pihaknya menangani 181 kasus dengan 209 korban, yang terdiri dari 69 anak dan 140 orang dewasa.
Dari total kasus tersebut, TPPO mendominasi dengan persentase 32,6%, diikuti oleh kekerasan seksual (18,8%), kekerasan fisik (11,6%), dan eksploitasi ekonomi (6,1%). (san)