Jadi Tantangan, Ilmuwan Dunia Berlomba Kembangkan Vaksin Corona

Kamis, 19 Maret 2020

Pandemi virus corona (Covid-19) menjadi tantangan bagi para ilmuwan di dunia untuk mengembangkan vaksin yang bisa menaklukkan virus mematikan tersebut. Foto/Ilustrasi

TRANSKEPRI.COM. SEATTLE - Pandemi virus corona (Covid-19) menjadi tantangan bagi para ilmuwan di dunia untuk mengembangkan vaksin yang bisa menaklukkan virus mematikan tersebut. Namun, sejauh ini mereka belum berhasil menemukannya.

Tercatat upaya pengembangan vaksin dilakukan ilmuwan dan perusahaan-perusahaan farmasi dari Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Mereka bekerja dengan dukungan investor dan pemerintah. Kolaborasi dilakukan karena riset membutuhkan pendanaan yang sangat besar hingga ratusan juta dolar AS.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi penelitian dan pengembangan vaksin setidaknya membutuhkan waktu 18 bulan sebelum dapat digunakan di dalam tubuh manusia.
Seperti di Eropa, Komisi Eropa yang meminta bantuan perusahaan bioteknologi asal Jerman, CureVac, menanamkan modal hingga 80 juta euro untuk mendukung penelitian dan pengembangan vaksin corona. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berharap vaksin itu akan dapat tersedia tahun ini. Sebelumnya CureVac diisukan menerima penawaran eksklusif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, tapi isu itu dibantah. 

Ilmuwan AS juga mulai mengembangkan vaksin. Institut Penyakit Menular dan Alergi Nasional AS (NIAID) dilaporkan akan melakukan uji coba vaksin tersebut terhadap 45 orang sehat dalam enam pekan ke depan. Setiap partisipan akan mendapatkan dua kali suntikan dengan dosis yang beragam dan waktu berbeda.

Uji coba itu bagian dari studi pengembangan vaksin Covid-19 untuk mengetahui bagaimana sistem imun akan bereaksi, sekaligus untuk mengetahui keamanannya. Jika terbukti bekerja efektif, para ilmuwan akan melanjutkannya dan mungkin melakukan berbagai uji coba lainnya dalam beberapa bulan ke depan.

“Menemukan vaksin yang efektif dan aman untuk mencegah penularan Covid-19 merupakan prioritas kami,” kata Direktur NIAID Dr Anthony Fauci dalam keterangan pers, dikutip CNN. “Studi fase pertama ini merupakan langkah yang penting untuk dapat mencapai target tersebut mengingat wabah Covid-19 kian meluas,” imbuhnya.

Pengembangan vaksin tersebut digarap Kaiser Permanente Washington Health Research Institute dan didanai oleh NIAID di Seattle, Washington, AS. Menurut NIAID, vaksin itu menggunakan material genetik yang dikenal di kalangan pakar sebagai RNA dan dikembangkan ilmuwan NIAID dan Moderna beberapa tahun lalu.

Studi ini dapat berlangsung lebih cepat mengingat struktur genetik Covid-19 mirip dengan virus corona SARS. Selain itu, NIAID juga sudah berpengalaman mengamati virus corona lainnya seperti MERS. Namun, seperti virus HIV, sampai sekarang vaksin untuk menangkal virus tersebut belum ada yang bekerja efektif.

Puluhan perusahaan farmasi dan lembaga penelitian berupaya mengembangkan vaksin virus korona. Perusahaan bioteknologi terkemuka seperti Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline, Gilead, Inovio, dan Novavax telah bekerja sama dengan Koalisi untuk Inovasi Persiapan Wabah (CEPI) dalam mengatasi wabah ini.

Meski vaksin tidak akan berarti banyak bagi mereka yang sudah terinfeksi, bahan antigenik itu dapat digunakan untuk mengantisipasi wabah serupa pada masa yang akan datang. Para ahli farmasi berencana melakukan uji coba terhadap tubuh manusia pada April nanti. Sejauh ini obat virus corona juga belum ditemukan.

Perusahaan farmasi dunia juga kini berlomba mengembangkan vaksin antivirus korona guna mencegah wabah pneumonia. “Kami akan mengembangkan vaksin antivirus corona dan bergerak secepat mungkin,” ujar Chief Executive Officer (CEO) Coalition for Epidemic Preparedness Innovations Richard Hatchett.

Hatchett kemudian menuturkan, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations akan bekerja sama dengan dua perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yakni Inovio Pharmaceuticals dan Moderna, dan Universitas Queensland Australia. Moderna sebelumnya juga sering mengembangkan vaksin penyakit menular.

Perusahaan farmasi lainnya, Novavax, yang berpengalaman mengembangkan vaksin Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) juga menginisiasi pengembangan vaksin antivirus korona terbaru yang mewabah di China. Sejauh ini tidak ada vaksin atau perawatan yang dapat mengobati penyakit tersebut.

Hatchett mengatakan, seandainya wabah pneumonia sudah hilang lebih dulu sebelum penelitian selesai, pihaknya akan tetap mengembangkan vaksin tersebut. “Ketersediaan vaksin bukan sesuatu yang merugikan. Kita harus tetap mengantisipasi virus itu yang bisa saja kembali muncul suatu saat,” tandas Hatchett.

Sebelumnya Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) China berhasil memisahkan dua strain (genetik mikroorganisme) virus corona dengan kualitas tinggi pada akhir pekan lalu. Hal itu membuka peluang bagi CDC atau perusahaan farmasi lokal untuk melakukan penelitian dan pengembangan vaksin virus itu.

“Kami akan melalukan uji coba klinis dan berharap dapat mengembangkan vaksin antivirus corona yang mengakibatkan wabah pneumonia di Wuhan,” kata Direktur Laboratorium Mikrobiologi Zhang Yanjun, dilansir China Daily. “Kami mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan sebelum dapat menemukan vaksin itu,” ucapnya.

Laboratorium kesehatan di China telah melakukan uji coba terhadap lebih dari 200 sampel virus corona. Satu sampel biasanya memerlukan waktu hingga enam jam sebelum hasilnya dapat diketahui. Uji coba itu juga dibantu para ahli dari Tongji Medical College dan Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hangzhou.

Tim dari CDC China juga telah menemukan 33 dari 585 sampel virus yang diambil dari Pasar Ikan Huanan Wuhan mengandung nucleic acid virus corona. Sampel itu diambil antara 1-12 Januari silam. Sekitar 31 dari 33 virus corona tersebut diambil dari bagian barat pasar, tempat pusat perdagangan daging dan hewan liar.

Berdasarkan penelitian gabungan antara Akademi Ilmu Pengetahuan China, Universitas Shanghai Jiao Tong, Institut Farmakologi dan Toksikologi Beijing, serta Universitas Kesehatan Guangzhou, sumber virus itu berasal dari kelelawar. Secara genetik, virus corona tersebut mirip dengan SARS dibandingkan dengan virus MERS. (ssb)