Pesan SBY Soal Ekonomi 'Jangan Too Little and Too Late'

Rabu, 18 Maret 2020

Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono

 

TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono buka suara menyikapi kondisi ekonomi yang terkena imbas merebaknya virus Corona (COVID-19). Melalui akun resmi Facebook Susilo Bambang Yudhoyono, pria yang akrab disapa SBY ini meminta pemerintah sigap dan tepat menyikapi dampak serangan corona terhadap ekonomi Indonesia.

SBY juga mengingatkan pemerintah jangan sampai 'too little and too late' dalam upaya menyelamatkan ekonomi Indonesia dari imbas wabah corona. Berikut petikan pernyataan SBY:

Gejolak perekonomian global akibat pandemi korona saat ini juga serius. Sudah sebulan ini, terutama seminggu terakhir, saya mengikuti dinamika dan perkembangan ekonomi dunia. Termasuk negara kita. Saya simpulkan ini juga serius. Simak rontoknya harga-harga saham, minyak dan nilai tukar. Juga berbagi pukulan yang menggoyahkan pilar dan fundamental perekonomian banyak negara. Termasuk Indonesia. Saya jadi teringat krisis ekonomi global tahun 1998 dan tahun 2008. Tahun 1998 ekonomi Indonesia tidak selamat, sementara tahun 2008 kita selamat. Dalam arti, kita dapat meminimalkan dampak krisis ekonomi global tahun 2008.

Banyak pakar ekonomi, pemimpin dunia usaha dan bahkan elemen pemerintah di banyak negara yang khawatir gejolak ini bisa membuat dunia jatuh ke dalam "resesi yang dalam dan panjang". Bahkan ada yang mencemaskan kalau krisis ini jauh lebih berat dibandingkan krisis tahun 1998 dan tahun 2008 dulu.

?

Kemarin, bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) telah menjalankan kebijakan moneter dan tindakan "berskala besar". Antara lain mengalirkan dana 700 milyar dolar AS dan sejumlah tindakan moneter (bagian dari Quantative Easing). Yang mengerti ekonomi, kalau The Fed sudah "menembakkan peluru kendali" seperti ini, berarti situasi sudah serius. Berbagai bank sentral di seluruh dunia juga melakukan langkah-langkah yang serupa. Bahkan para pemimpin G7 telah meminta agar IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara yang memerlukan.

Terhadap itu semua, secara pribadi saya jadi ingat apa yang terjadi di tahun 2008 dan tahun-tahun setelah itu. Memori saya jadi hidup lagi. Betapa untuk menghadapi krisis berskala besar kala itu jalannya tak selalu mudah. Jangan dikira berbagai "policy response" yang dilakukan secara kolektif oleh dunia, baik moneter maupun fiskal, bisa serta merta menenangkan dan "menjinakkan" pasar.

Ternyata tak segampang itu. Untuk meredakan badai ekonomi diperlukan penanganan bersama yang serius dan terus-menerus. Tentu termasuk kebijakan dan tindakan yang dilakukan secara nasional, di masing-masing negara. Melalui artikel ini saya hanya ingin mengingatkan agar Indonesia tidak terlambat menjalankan "policy response" dan aksi-aksi nyata yang diperlukan. Jangan "too little and too late". Selamatkan ekonomi kita, selamatkan rakyat. 

Di samping ekonomi dunia dan kawasan nampaknya benar-benar kelabu dan terus bergejolak, ekonomi kita juga memiliki sejumlah persoalan yang fundamental. Kalau ekonomi kita kuat, semua fundamentalnya kokoh dan tak memiliki risiko apapun, kita boleh agak tenang. Pohon yang kuat, sehat dan akarnya kokoh akan selamat manakala taufan dan badai datang menerjang. Mungkin sempat terhuyung-huyung, namun tak akan roboh. Tetapi akan berbahaya jika.... badainya terlalu kuat dan pohon yang kita miliki tak sekokoh yang kita duga.

Saya termasuk orang yang optimistis. Namun, juga realistis. Selalu ada jalan ketika kita menghadapi kesulitan. Setiap masalah selalu ada solusinya. Yang penting jangan terlambat untuk berbuat. Pilihlah solusi yang paling tepat. Kemudian jalankan dengan segala daya upaya. Insya Allah berhasil.(007)