Dr Fadlan SH, MH
Kepulauan Riau merupakan sebuah negeri tempat lahirnya Raja Ali Haji, sang pencipta Gurindam 12, sebuah puisi Melayu yang berisikan berbagai macam nasihat kehidupan, negeri berazamkan marwah ini kebagian agenda menggelar pesta demokrasi 5 tahunan.
Pada tahun ini terdapat beberapa kabupaten dan kota di Kepulauan Riau masuk dalam agenda pilkada serentak, aroma politik serta nuansanya begitu semerbak, bak sewangi harum melati, tanpa menjustifikasi daerah lain di Kepri yang masuk dalam agenda pilkada yang sama.
Penulis melihat sorotan tajam masyarakat Kepri saat ini tertuju kepada Pengisian Orang nomor 1 di Kepuluaan Riau yang begitu seru dan menarik untuk amati yakni untuk Gubernur Kepulauan Riau .
Dari semua tingkatan lapisan masyarakat Kepri tengah asyik mempersoalkan kursi panas Dompak 1 ini, meskipun tahapan pelaksanaan pilkada masih beberapa bulan kedepan, namun telah banyak pemberitaan bereder, WAG dadakan dan yg tidak kalah penting banyak poling calon kepala daerah disebarkan melalui media sosial yang notabene merupakan sarana kampanye yg teramat simple alias gratis?.
Segala macam upaya diperbuat guna melihat sejauh mana elektabilitas calon yg akan bertarung, hal ini lazim dilakukan untuk mengukur kualitas, krebilitas, intergitas dan nilai ketokohan dari masing calon yang diinginkan masyarakat kepri.
Menarik untuk diperhatikan bahwa di bumi segantang lada, bunda tanah melayu ini polarisasi dan fenomena tertentu sering dikaitkan dalam stigma tertentu khususnya berkenaan dengan politik, keadaan semacam ini bisa dianggap sebagai sebuah paradoks dalam demokrasi, perasaan teralienasi yang dialami oleh suatu kelompok etnik menjadi momentum yang sangat besar bagi elit dan kelompoknya untuk mengekpresikan berbagai kepentingan.
Dalam keadaan yang diskriminatif ini, salah satu yg menjadi persoalan dan fundamental adalah distribusi sumberdaya yang tidak merata akibat lebih sedikitnya daratan dari pada lautan yg mengitari kepulauan Riau, kondisi masyarakat yang berada di hinterland juga sangat mempengaruhi sehingga corong-corong kekuasaan ketika membuat sebuah kebijakan cenderung tidak adil.
Mirisnya lagi hanya tersentuh dan menjadi lirikan ketika proyek musiman berjalan yakni pilkada, dimana sebuah suara begitu berarti untuk menentukan seseorang menjadi penyelanggara kekuasaan.
Teori dasar ini dianggap suatu senjata yang ampuh dalam sistem demokrasi. identifikasi golongan tertentu yang dijadikan alat untuk menggapai gerakan politiknya, maka pada bagian lain akan banyak juga yang termarjinalkan bahkan rentan timbulnya konflik horizontal akibat sistem yg paradoks seperti ini.
Berkaca pada pemilu tahun 2019 yang cukup membuat ataupun hampir membuat bangsa ini terpecah, polarisasi dan isu tertentu di mainkan oleh para elit politik agar tujuan politiknya dapat tercapai.
Perlu dipahami bahwa yang terpenting dari pemikiran instrumentalism ini adalah untuk mengetahui mengapa orang memilih ciri-ciri etnik untuk mengorganisir persaingan dan konflik sosial, khususnya politik.
Apa yang utama dan menjadi objek analisisnya? jawabannya etnisitas dan identitas etnik hanya sebagai satu variabel perilaku politik (political behavioral) dan atas inilah target-target eksternal seringkali dimobilisasi.
Di Amerika Serikat, para peneliti perilaku memilih (voting behavior) mengenal teori atau fenomena "Bradley Effect."Ini soal para kandidat non-kulit putih dalam Pemilu Amerika Serikat yang seringkali unggul dalam survei, tapi kalah dalam pemilu sesungguhnya.
Fenomena ini mulai jadi perhatian ketika Tom Bradley, kandidat berkulit hitam, bertarung dalam pemilihan Gubernur California tahun 1982. Dia diprediksi sangat kuat akan memenangkan kursi gubernur, karena semua survei menunjukkan hal tersebut.
Pemenangnya adalah kandidat berkulit putih. Diduga kuat penyebabnya adalah, para pemilih kulit putih dalam survei mengaku tidak mempersoalkan warna kulit kandidat, padahal mereka mempersoalkannya.
Dalam survei, mereka tidak ingin dianggap rasis atau kurang liberal/demokratis maka melalui Marketing politik dapat memperbaiki kualitas hubungan antara kontestan dengan pemilih.
Masyarakat modern, dan cerdas di dalam iklim politik modern dewasa ini membutuhkan sebuah desain atau model yang baru katimbang model-model yang lama dan cenderung top down.
Menurut Plato bahwa manusia terdiri dari tiga bagian, yakni; kepala, dada, dan perut. Kepala menyimpan kebijaksanaan, dada menyimpan kesemangatan atau hati nurani dan perut berisi nafsu.
Ketika diimplementasikan dalam konteks seorang pemimpin, lazimnya aktualisasi diri tersebut idealnya terletak pada orang yang bijak ketika menggunakan akalnya?, paham situasi melalui semangat/hatinurani dan tidak mengedepankan nafsu ketika memutuskan sebuah kebijakan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebenarnya adalah sarana bagi rakyat daerah untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah yang tengah menjabat. Pilkada juga merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memberikan hukuman (punishment) bagi pemimpin yang dipandang gagal dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah.
Sebaliknya bagi pemimpin yang berhasil, rakyat dapat memberikan ganjaran (reward) berupa dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan.
kontestasi pilkada Kepulauan Riau khususnya Pemilihan Gubernur dan wakil gubernur kali ini cukup menyita perhatian publik banyak calon mencoba “berlari” sendirian untuk mendorong popularitas dan elektabilitas, serta tidak kalah sibuk juga membangun komunikasi dengan berbagai macam partai politik, belum lagi banyak nya "kuda hitam" yang mencoba mewarnai ragam perserta bakal calon gubernur dan wakil gubernur, mulia dari trah keluarga, hingga mantan orang nomor 1 di Kepualuan Riau.
Belum lagi isu keretakan serta tidak harmonisnya partai pengusung yg akan bertarung hingga berujung pada perpisahaan, seperti lagu di tahum 80 yang bejudul "bertemu untuk berpisah" Oleh karenanya, sulit dimungkiri bahwa kepentingan dan aktor politik adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam banyak literatur seorang pemimpin sebagai tempat mengadu para masyarakatnya, kapanpun, dimanapun dan bagaimanapun pemimpin wajib melayani dengan setulus hati.
Dalam setiap ajang pilkada keberadaan petahana sebagai peserta dalam pilkada sangat diperhitungkan, sebab petahana tentunya adalah orang yang masih memiliki pengaruh dalam suatu daerah pemilihan karena pernah menjadi pemimpin sebelum adanya pilkada berikut.
Pemilukada kali ini harus dapat mewujudkan
pendidikan politik yang elegan kepada
masyarakat serta diharapkan menghasilkan sebuah tananan pemerintahan yang responsif, pilkada langsung menjamin pemerintahan yang terbentuk dan dihasilkan lewat mekanisme tersebut memiliki tingkat legitimasi yang tinggi.
Karenanya kualitas pemilihan kepala daerah akan sangat menentukan kualitas legitimasi pemerintahan yang dihasilkan.
Makin tinggi kualitas pemilu itu dijalankan, makin tinggi pula legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Makin tinggi legitimasi pemerintahan akan semakin kuat pula kedudukan kepala daerah, sehingga makin memungkinkan pemerintah menjalankan pemerintahan yg efektif.
berkaca pada konsep kepemimpinan melayu, yaitu “Raja Alim Raja Disanggah, Raja Lalim Raja Disembah”. Konsep kepemimpinan yang diluahkan dalam ungkapan melayu itu sangat sederhana dan tegas. Dengan konsep itu, pemimpin dan masyarakat dapatlah mengatur sikap yang jelas.
Secara singkat, makna dari gabungan dua frasa ini adalah kebalikan dari kalimat yang pertama. Dalam kalimat ini, dapat diartikan, jika raja tidak baik akhlak dan sifatnya tidak perlu dihormati, dan atau, jika raja tidak baik maka harus ditentang.
Apa yang sedang terjadi? Seharusnya dengan konsep warisan nilai politik yang sederhana dalam ungkapan melayu tersebut, kita sudah memiliki identitas yang jelas dan tegas. Tapi, dengan keadaan yang lebih mementingkan kepentingan, identitas sebagai Melayu yang sederhana, jelas dan tegas perlahan berangsur memudar.
Hanya dikarenakan sesuatu yang tak jelas Raja Alim disanggah-sanggah, dan raja dzalim disembah-sembah, demi “kepentingan”.
semoga pada pilkada kali ini kepulauan riau di pimpin oleh seorang yg amanah serta tidak berujung pada pertanggungjawaban pidana seperti pendahulu-pendahulunya. ***