Pejuang Dwikora asal Batam dari Etnis Tiong Hoa, Herman Thio
Oleh: Riza Pahlevi
TRANSKEPRI.COM.BATAM- "Ayo pesan dulu," ajak Herman Thio. Dia pun melambaikan tangannya pada pelayan foodcourt. Tak lama, seorang wanita muda tergopoh menghampiri meja kami.
"Ayo, pesan-pesan," pintanya. "Bikinkan kopi ya," lanjutnya pada pelayan tadi. Sementara saya memilih air mineral saja.
Tahun ini, usia lelaki kelahiran Tanjungbatu, Pulau Kundur, Karimun itu sudah menyentuh angka 77 tahun. Sudah senja. Wajahnya memang nampak tua, namun masih segar dan bersemangat.
Pagi menjelang siang itu, Herman memakai kemeja lengan pendek abu abu, dengan motif daun-daun. Di saku kirinya terselip sebuah bolpoin dan di atasnya tersemat lencana sebesar koin warna kuning keemasan, bertulis "LVRI".
LVRI atau Legiun Veteran Republik Indonesia adalah organisasi yang menghimpun para veteran Republik Indonesia.
Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2012, negara perlu memberikan penghargaan kepada mereka yang telah menyumbangkan tenaganya secara aktif atas dasar sukarela
dalam ikatan kesatuan bersenjata baik resmi maupun kelaskaran dalam memperjuangkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
"Thio itu nama marga saya. Itu nama orang Teo Chew (baca: Tio Ciu)," jelas Herman.
Orang-orang Teo Chew berasal dari China daratan, tepatnya dari
Provinsi Fujian. Pada abad ke-9 sampai 15, mereka berpindah ke bagian pesisir Guangdong dan bertetangga dengan orang Kanton dan Hakka, sehingga terjadi akulturasi bahasa dan budaya.
Hingga kemudian migrasi orang-orang ini, bersama juga dari suku Hakka sampai ke Nusantara.
"Sebenarnya banyak yang bermarga Thio. Bukan hanya orang Teo Chew saja," jelas Herman sambil menyeruput kopi yang masih panas.
Saya lihat di lengan kanannya bagian dalam, ada tato bergambar ikan hiu bersilang keris. Ukurannya sebesar kotak rokok. "Ini adalah lambang KKO," jelasnya.
KKO adalah singkatan dari Korps Komando TNI AL yang dibentuk 15 November 1945. Setelah era Orde Baru terjadi reorganisasi dan menjadi Korps Marinir TNI AL.
Sebenarnya lambang dari pasukan elite TNI AL ini adalah keris yang disebut "keris samudera". Entah mengapa Herman menyertakan hiu di tatonya itu.
"Tato ini saya dapat saat dipenjara Polisi Singapura. Teman saya yang merajah. 'Sini saya kamu tato,' katanya. Saya mau aja. Daripada tak ada kerjaan," jelasnya.
Tak hanya itu, di bagian dalam lengan kiri Herman juga ada tato, tertulis namanya: Herman Thio. Juga di punggung tangan kirinya, di sela jempol dan telunjuk, juga ada tato berganbar keris. Namun ukuran kedua tato ini agak kecil.
"Kalau yang ini ngilu sekali rasanya. Sampai malam masih terasa sakitnya. Kalau (tato) yang di lengan biasa saja," ungkap Herman menunjuk tato keris di punggung tangan kirinya itu.
Herman mengaku masuk penjara polisi Singapura setelah operasinya tertangkap. Dia dipaksa mengaku apakah tentara atau bukan. "Saya tak mau mengaku. Akibatnya saya disiksa," terangnya.
Herman kenal betul metode siksaan polisi Singapura. "Dulu saya
jadi gangster (preman) makanya tahu," terangnya.
Dulu, menurut Herman, sangat mudah sekali untuk punya kartu tanda penduduk Malaya (Saat itu Singapura masih masuk Malaya). Hubungan penduduk serumpun ini juga sangat
akrab.
Karena itulah, Herman muda sering malang melintang di Singapura. Bahkan sempat jadi preman di sana.
Hingga akhirnya dia harus berperang melawan Malaya, demi membela NKRI. "Ngeri kalau ingat itu. Peluru di atas kepala," kisahnya menggali kenangan lama.
Setelah tertangkap, derita demi derita Herman rasakan. Mulai
didudukkan dalam balok es tanpa sehelai benang, ditusuk jarum hingga dicabut kuku kakinya.
"Mereka suka main jarum. Tapi itu biasa. Yang paling sakit saat kuku jari kaki saya dicabut. Aduuuh sakit sekali," kenangnya.
Selama satu bulan dipenjara itulah, dia bertemu dengan Usman dan Harun Tohir, legenda KKO yang namanya kini diabadikan sebagai pahlawan nasional.
Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali, adalah dua anggota KKO yang bertugas menyabotase Singapura. Mereka berangkat dari pangkalannya di Pulau Sambu (kini masuk Batam), menggunakan perahu karet.
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, Usman dan Harun meledakkan Hotel Mac Donald yang terletak di Orchad Road, sebuah pusat keramaian Singapura, dengan bahan peledak seberat 12,5 kg.
Pukul 03.07 malam ledakan dahsyat terdengar dari bagian bawah Hotel Mac Donald. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di sekitar hotel itu rusak berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan.
Usai peristiwa tersebut Usman dan Harun bersembunyi dari kejaran polisi Singapura.
Hingga 13 Maret 1965 mereka keluar persembunyian langsung menuju pelabuhan untuk kembali ke Pulau Sambu.
Keduanya merebut boat dari nelayan Singapura, namun sebelum sampai ke perbatasan perairan Singapura, motorboatnya macet. Mereka ditangkap patroli Singapura, tepatnya pukul 09.00, 13 Maret 1965.
"Saat itu saya merasa berat Usman dan Harun bisa lolos. Apalagi (hubungan) Tunku Abdurrahman (Perdana Menteri Malaysia kala itu) kurang begitu suka dengan Pak Karno
(Presiden Soekarno)," terangnya
Kisah herman di penjara Singapura ini sering dia kisahkan pada wartawan dan banyak ditulis di media massa.
Di antaranya Tribunnews. Dia berkisah, dia disel selama satu bulan. Ruangannya terletak di lantai atas, satu deret dengan sel Usman dan Harun. Ketiga tahanan ini hanya boleh satu kali turun ke bawah membuang hajat kecil dan besar di pagi hari.
Sel Usman dan Harun berada paling ujung, waktu lewat untuk buang hajat, pasti lewat depan selnya. "Saya hanya bisa melihat wajah Usman dan Harus dari celah lobang-lobang kecil sel," terangnya.
Herman menyebut, siksaan yang dirasakan Usman dan Harun tak beda dengan dirinya. "Sebelum mengaku seluruh jari kuku-kuku ditusuk dengan jarum. Badan dipukul lebih dari binatang," kenang Herman.
Setelah Usman dan Harun mengaku karena sudah tidak tahan, jelas Herman, mereka mendapatkan fasilitas baik. Makan dan rokok tidak pernah terlambat. Bahkan apapun yang diminta selalu dipenuhi.
Hingga kemudian Herman mendengar Usman dan Harun telah dihukum gantung setelah delapan bulan dipenjara.
Dalam catatan saya, Usman dan Harun, menjalani hukuman gantung pada 17 Oktober 1968 – setelah proses rayuan/banding gagal. Di hari yang sama Presiden Soeharto meneken Keppres penetapan keduanya sebagai pahlawan pembela kemerdekaan.
Herman This sendiri juga terancam hukuman yang sama: gantung. Lalu bagaimana dia bisa bebas? "Saya mengaku bukan warga negara Singapura, saya mengaku lahir di Tanjungbatu, Pulau Kundur," terangnya.
Akhirnya polisi Singapura itu memeriksa ke Tanjungbtu. Setelah keluarga Herman ditemukan, akhirnya dia tidak jadi dihukum gantung. "Saya dikembalikan ke Malaysia karena tidak terbukti bersalah," jelasnya.
Kisah heroisme Herman Thio ini sudah dibukukan. Namun belum diedarkan. Saya lihat cukup lux. Kertasnya bagus bagai kertas foto. "Saya memang sengaja bikin yang bagus, agar buku ini tahan lama," terangnya.
Namun sayang sekali cara mengemas kisahnya sangat sederhana. Terlalu sederhana, malah. Tapi okelah. Minimal kini di Batam, tak hanya dikenal sebagai kota para pengusaha, khususnya marga Tionghoa, namun juga kota para pejuang. ***