Negeriku Tergerus Kuku Kobe

Rabu, 05 Februari 2020

Rahmad Putra

Oleh: Rahmad Putra

Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Di satu sisi kegiatan usaha pertambangan dapat menyediakan sumber energi dan materi penting yang menjadikan kemajuan umat manusia. Hasil tambang dan turunannya terdapat pada semua produk yang dimanfaatkan manusia saat ini. Di sisi lain, pertambangan juga dikenal sebagai sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.


Karena sifatnya yang kerap ditemukan di lokasi-lokasi terpencil, pertambangan banyak dilakukan di kawasan yang sensitif secara ekologi, selain juga bersinggungan, atau bahkan berada di dalam kawasan yang dihuni oleh masyarakat-masyarakat tradisional. Apabila dikelola dengan benar, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bisa diminimalisir. Lain daripada itu kegiatan pertambangan dapat membawa dampak sosial dan ekonomi secara positif seperti peluang bisnis, peluang kerja, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendapatan daerah dan nasional, dan kemajuan-kemajuan lain yang dapat dinikmati oleh masyarakat.


Di sisi lain, bila pengelolaan pertambangan dikelola secara tidak baik, sesuai dengan undang undang dan peraturan yang berlaku akan berdampak tidak baik bahkan dapat memperparah kerusakan lingkungan. Lubang-lubang bekas galian tambang yang mengandung air asam merupakan gambaran yang bisa dilihat di seluruh bagian Negeri. konflik seringkali terlahir antara masyarakat dengan pelaku usaha pertambangan. Demikian juga, kekayaan dari pertambangan yang seharusnya bisa dinikmati oleh negara dan warganya banyak yang hilang lantaran di korupsi.


Diakui bahwa kinerja buruk pertambangan dalam pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi masih sangat sering terjadi, Karenanya, secara umum pertambangan memang dikenal sebagai sektor yang tidak baik. Menggambarkan sisi buruk pertambangan bouksit yang sudah lama diketahui secara luas. Krisis ekonomi global dianggap sebagai salah satu indikator yang mendorong petambang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada keselamatan dan kesejahteraan Masyarakat.


Otoritas yang dipercaya mampu mengawasi dan menindak "Ilegal Minning" sepertinya belum sesuai espektasi, mereka tidak berdaya oleh karena besarnya tekanan dan permintaan seseorang dan pihak tertentu. bahkan tidak sedikit sebuah perkampungan dijadikan sebagai area tambang. Di akhir tahun 2013 banyak sisa hasil pertambangan tak terdata bahkan kembali dijadikan komoditas eksport. Menurut undang undang pertambangan sisa hasil usaha pertambagan wajib diambil alih oleh pemerintah  selanjutnya bisa di lelang, namun hal itu tidak sesuai harapan.


Sisa galian dan  stock bauksit yang ditambang akhir tahun 2013 silam menjadi tumpukan tanah  tidak termanfaatkan, kita sebut saja seperti di pulau keling dan pulau sulung, seharusnya pasca tambang mereka wajib melakukan reklamasi, Pada bulan April 2019 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis bahwa  bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Prov. Bengkulu merenggut nyawa 29 orang korban dan 13 lainnya masih dinyatakan hilang, sementara 12.000 jiwa harus mengungsi. BNPB juga merilis bahwa penyebab terjadinya bencana adalah akibat kerusakan di kawasan hulu sungai yang merupakan daerah tangkapan air. Daerah itu rusak lantaran dipakai untuk pemukiman atau aktifiktas pertambangan.


Setiap kegiatan pertambangan pasti akan menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi hal tersebut telah diantisipasi oleh pemerintah dengan mewajibkan bagi pemegang konsesi untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Pada tahap Eksplorasi, pemegang konsesi pertambangan diwajibkan untuk melakukan Reklamasi terhadap lahan yang terganggu, sedangkan pada tahap Operasi Produksi diwajibkan untuk melakukan kegiatan Reklamasi serta Pasca Tambang terhadap lahan terganggu untuk metode / sistem penambangan terbuka maupun bawah tanah (undergroud).

Seperti diketahui, baru baru ini Kejaksaan Tinggi Kepri menetapkan dua kepala dinas sebagai tersangka penerbitan IUP OPK pengangkutan dan penjualan dengan modus izin peruntukan.

Tidak hanya disitu, Kementrian Lingkungan Hidip dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 19 perusahaan terindikasi sebagai penyebab kerusakan lingkungan di Kabupaten Bintan, namun hingga saat ini proses hukumnya tidak jelas, tidak satupun dari mereka yang ditetapkan sebagai tersangka pelaku pertambangan ilegal.

Sesuai izin peruntukan seharusnya ke 19 perusahaan tersebut bertangungjawab melakukan perbaikan lahan pasca Tambang (reklamasi) atau membuat usaha sesuai izin peruntukannya. Tumpukan bouksit/ stock file bekas galian beberapa perusahaan pertambangan bisa kita telusuri mulai dari Tanjung Moco, Senggarang, Dompak Laut, Wacopek bahkan ke Dabo Singkep dan Pulau Provos di Kabupaten Karimun


Seharusnya, semua perusahaan yang dipastikan tidak  beroperasi lagi, sisa stock file yang ada di ambil oleh pemerintah provinsi dan di lelang secara terbuka dan transparan. Saya berharap pemerintah dapat memberikan informasi yang jelas dan bertanggung jawab terkait 

Dana Jaminan Perbaikan Lingkungan (DJPL) dan Dana Konpensasi Terhadap Masyarakat/COD (DKTM). Apakah Dana tersebut masih tersimpan dengan aman dan baik..?

Sebagai pemerhati aktifis pertambangan di Kepri saya berpendapat kinerja Aparatur Pemerintahan tidak  berintegritas, mengurus reklamasi pasca tambang dan mengambil alih sisa stock bauksit saja sudah jelas diatur dalam udang undang tidak bisa mereka lakukan.


Terkait Izin Ekspor yang diperoleh salah satu Anak Perusahaan ternama di Kepri terendus kabar mereka belum mendapat rekomendasi kesesuaian tata ruang pertambangan maupun tata ruang industri untuk melaksanakan pembangunan "Smelter" dan IM. Rekomendasi izin pembangunan smelter atau izin prinsip dari kepala pemerintahan dimana pelaksaan aktifitas pertambangan dilaksanakan sepertinya wajib diadakan, Ironisnya yang terjadi dilapangan saat ini jauh dari kata kesesuaian, mereka lebih dulu melaksanakan kegiatan pertambangan sedangkan perizinan dalam proses pengurusan.


Kita cukup dibuat linglung dengan kinerja evaluator yang mengevaluator kegiatan pembangunan smelter, apa yang di evaluator, sedangkan perusahaan yang mendapatkan kuota Eksport baru akan mengurus seluruh perizinan. Dari seberang sana muncul statmen penolakan yang berasal dari salah seorang kepala dinas yang mengatakan secara tegas, tidak akan mengizinkan pemilik kuota untuk melaksanakan kegiatan Eksport sebelum seluruh persyaratan perizinan pembangunan smelter mereka lengkapi.


Masyarakat adalah bahagian tidak terpisahkan dengan Investasi, persmasalahan pertambangan dimasa lalu tidak terjadi lagi, saya berharap perusahaan yang berencana melakukan kegiatan pertambangan dan eksport wajib melengkapi seluruh perizinan dan proposal Investasi Pembangunan Smelter misalnya, Amdal, luas area rencana lokasi smelter, memaparkan kapasitas pabrik, nilai investasinya bahkan sumber pendanaan juga harus mereka kemukakan secara jelas serta dapat dipertanggungjawabkan bahkan memberikan informasi tersebut untuk diketahui masyarakat.

Sebagai aktivis pertambangan, saya berpendapat bahwa asyarakat harus terlibat dalam pengambilan keputusan strategis, karena mereka adalah korban dari aktifitas tersebut, saya dan bahkan Masyarakat berharap kegiatan usaha pertambangan di Kepri berdampak positif terhadap Kesejahteraan dan Kemakmuran masyarakat.***