Ilustrasi: media barat
TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Pengguna media sosial mencap media Barat arus utama bersikap munafik dalam meliput perang Rusia di Ukraina dibandingkan dengan konflik lainnya di dunia.
Ketika invasi Rusia ke Ukraina berlanjut sampai hari keempat, curahan dukungan untuk Ukraina telah disaksikan di sebagian besar Eropa, Australia, dan Barat pada umumnya.
Invasi ini telah memicu kecaman cepat oleh beberapa negara, sanksi langsung oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain terhadap bank-bank Rusia, kilang minyak, dan ekspor militernya.
Perang bahkan menimbulkan pertemuan darurat berjilid-jilid di Dewan Keamanan PBB.
Di media sosial, kecepatan respons internasional semacam itu sangat berbanding terbalik dengan reaksi terhadap konflik di belahan dunia lain, hanya karena pihak tertindas tidak berasal dari golongan orang kulit putih.
Pakar media, jurnalis, dan tokoh politik telah dicap memiliki standar ganda, sebab menggunakan outlet mereka untuk memuji perlawanan Ukraina dan mengkategorikannya sebagai negara “beradab”.
Koresponden senior CBS News di Kyiv, Charlie D'Agata mengatakan pada Jumat, 26 Februari 2022, bahwa Ukraina tidak pantas diperlakukan demikian karena tempat itu relatif ‘beradab dan ‘Eropa’.
Pernyataan tersebut memancing kemarahan warga dunia lantaran Charlie membandingkan Ukraina dengan Irak dan Afghanistan sebagai kebalikan dari negara ‘beradab’ yang dimaksudkan.
“Ini bukan tempat, maaf, seperti Irak atau Afghanistan yang telah dilanda kecamuk konflik selama beberapa dekade. Ukraina relatif beradab, relatif Eropa, kota di mana Anda tidak mengantisipasi perang, atau berharap itu akan terjadi.” ucapnya.
Warganet dunia menyatakan kemarahan dengan menilai komentar itu sebagai dehumanisasi lebih bagi orang-orang non-kulit putih, non-Eropa, yang juga menderita akibat konflik.
Di kasus lain, pada Jumat, Sky News menyiarkan video orang-orang di kota Dnipro, Ukraina tengah, yang sedang membuat bom Molotov hingga menjelaskan cara supaya perangkat lebih menempel pada kendaraan.
Dari sudut pandang pemberitaan itu, warga dunia sepakat bahwa media Barat memberikan liputan cemerlang tentang orang-orang Ukraina yang melawan invasi Rusia dengan bom Molotov.
Hal yang mustahil dipertontonkan ketika pelaku perlawanan menggunakan bom tersebut adalah orang kulit coklat dari Yaman atau Palestina.
“Jika itu mereka, maka media akan mencapnya sebagai teroris yang pantas menerima pemboman pesawat tak berawak AS-Israel atau AS-Saudi,” tutur salah seorang warganet, dikutip Pikiran Rakyat.com dari Al-Jazeera.
Jurnalis Inggris Daniel Hannan juga ikut kena kecaman secara online, untuk sebuah artikel di The Telegraph, di mana ia menulis bahwa kini perang tidak lagi terjadi di "negara miskin dan terpencil".
Media Barat banyak menggunakan terminologi "intelektual" dan "Eropa" bagi Ukraina, jauh berbeda dengan penggunaan kata terhadap migran dan pengungsi dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah.
Standar ganda tampak makin kentara, ketika Rusia dikecualikan dari acara budaya dan olahraga mancanegara.
Sementara langkah yang sama tidak diterapkan ke entitas penindas lainnya pada konflik yang bahkan telah berlangsung jauh lebih lama. (tm)