UNAIDS mengeluarkan peringatan, jika para pemimpin gagal mengatasi ketidaksetaraan untuk mengakhiri AIDS, dunia akan terus terjebak dalam krisis Covid-19. Foto Ilustrasi/iStock
TRANSKEPRI.COM, JAKARTA - Program Gabungan PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mengeluarkan peringatan, jika para pemimpin gagal mengatasi ketidaksetaraan dan langkah-langkah transformatif yang diperlukan untuk mengakhiri AIDS, dunia akan terus terjebak dalam krisis Covid-19 dan tidak siap menghadapi pandemi yang akan datang.
“Masih ada jutaan orang di dunia yang tertinggal dalam respon HIV karena ketimpangan sosial,” ungkap UNAIDS Indonesia Country Director Krittayawan Boonto melalui siaran pers, Selasa (30/11/2021).
“Hal ini semakin diperparah dengan adanya pandemi Covid-19. Kegagalan untuk meningkatkan capaian baik layanan pencegahan, tes, dan pengobatan HIV akan mengakibatkan 7,7 juta kematian selama dekade ini,” tambahnya.
Peringatan tersebut muncul dalam laporan terbaru yang diluncurkan UNAIDS dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia hari ini, 1 Desember 2021, yang berjudul Unequal, Unprepared, Under Threat: Why Bold Action Against Inequalities is Needed to End AIDS, Stop COVID-19, and Prepare for Future Pandemics.
Peluncuran laporan ini dilakukan UNAIDS Indonesia bersama Kementerian Kesehatan RI dan Jaringan Indonesia Positif dalam acara Tempo Press Briefing, kemarin (30/11/2021).
Beberapa negara, termasuk negara dengan angka HIV tertinggi, telah berhasil membuat kemajuan yang luar biasa melawan AIDS. Namun, capaian itu tidak merata sehingga secara global masih terjadi 1,5 juta infeksi HIV baru pada 2020, di mana 31% terjadi di kalangan orang muda berusia 15-24 tahun.
Pada 2020, diestimasikan ada 37,7 juta orang hidup dengan HIV di dunia, 15% di antaranya atau 5,8 juta orang tinggal di kawasan Asia dan Pasifik.
Tahun ini menandai 40 tahun pertama kalinya kasus AIDS dilaporkan. Sejak itu, data UNAIDS menunjukkan ada kemajuan besar, terutama pada perluasan akses ke pengobatan. Pada Juni 2021, sebanyak 28,2 juta orang telah mengakses pengobatan HIV, naik dari 7,8 juta pada 2010.
Namun sayang, cakupan pengobatan HIV di Indonesia belum mencapai target. “Saat ini diperkirakan ODHIV di Indonesia mencapai 543.100 orang, sampai dengan September 2021 sebanyak 378.446 di antaranya telah ditemukan. Namun, di antara ODHIV itu baru 149.833 yang mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) dan 48.588 ODHIV mengalami supresi viral load," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi.
"Angka infeksi HIV baru di Indonesia mulai mengalami penurunan, namun masih di level yang cukup tinggi yakni 27.580 infeksi baru pada 2020. Tentunya di tengah pandemi Covid-19 saat ini, isu HIV AIDS tidak boleh luput dari perhatian sehingga capaian Indonesia akan lebih baik," tambahnya.
Covid-19 melemahkan respons AIDS di banyak tempat. Jumlah tes HIV menurun secara merata dan sedikit orang yang hidup dengan HIV mulai melakukan pengobatan pada 2020 di 40 dari 50 negara yang melapor ke UNAIDS.
“Pandemi Covid-19 menjadi situasi yang sangat berat bagi komunitas orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci yang rentan terhadap HIV. Menghadapi krisis seperti ini membuat organisasi komunitas langsung sigap mendukung kebutuhan komunitas orang dengan HIV dan populasi kunci," timpal Meirinda Sebayang, Ketua Sekretariat Nasional Jaringan Indonesia Positif.
"Kami bekerja untuk memastikan akses pengobatan HIV tidak berhenti. Kami berupaya agar orang dengan HIV mendapatkan akses yang setara terhadap vaksin Covid-19 dan kami melakukan monitoring serta advokasi hak-hak mereka terpenuhi,” lanjut Meirinda.
Laporan UNAIDS menunjukkan bahwa negara yang memiliki hasil terbaik dalam respons HIV adalah yang melibatkan komunitas serta punya sistem kesehatan yang kuat dan inklusif. Sedangkan wilayah dengan kesenjangan sumber daya, memiliki pendekatan hukum yang punitif dan tidak menggunakan pendekatan berbasis hak untuk kesehatan, akan bernasib buruk.
(net)