Ilustrasi: Depresi
TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan ada enam hingga tujuh laporan kasus bunuh diri akibat pinjaman online (pinjol) yang diterima lembaganya dalam tiga tahun terakhir.
"Setidaknya yang kami terima ada 6-7 laporan bunuh diri akibat Pinjol (dalam tiga tahun terakhir)," kata Pengacara publik dari LBH Jakarta Jeanny Silvia Sirait, setelah mendaftarkan gugatan 19 warga terhadap pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (12/11).
Ia menyebut fenomena bunuh diri akibat pinjol ini terjadi karena masyarakat yang terjerat mengalami stres parah.
"Penagihan pinjol yang dipenuhi beban tindak pidana itu akhirnya membuat memutuskan bunuh diri dan banyak kali yang begitu," ujar Jeanny.
Selain itu, dalam perkara pinjaman online ini LBH Jakarta juga menemukan ada sejumlah dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di antaranya, pelanggaran hak privasi, pelanggaran hak atas rasa aman.Di luar kasus bunuh diri, pihaknya juga menerima 7.200 pengaduan terkait permasalahan pinjol baik melalui surel maupun pengaduan konsultasi.
"Mekanisme penagihan gila-gilaan yang membuat orang stressful bahkan melakukan upaya bunuh diri dan terakhir karena pelanggaran HAM terjadi buruknya lainnya penegakan hukum yang lemah," cetusnya.
Persoalan itu sudah dimulai dari mekanisme pendaftaran yang tidak terverifikasi serta biaya administrasi dan bunga pinjaman serta biaya administrasi yang sangat tinggi sehingga membebani masyarakat.Menurut Jeanny, setidaknya terdapat 11 masalah dalam penyelenggaraan pinjaman online.
"Kemudian juga permasalahan mekanisme penagihan yang dipenuhi dengan berbagai-bagai tindak pidana," ujar Jeanny.
"Kami mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum atas kegagalan negara mengendalikan penyelenggaraan pinjaman online atau peer to peer lending di Indonesia," kata Jeanny. (tm)Sebelumnya, 19 warga yang terdiri dari korban pinjol dan kelompok masyarakat sipil lainnya menggugat Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin atas perbuatan melawan hukum ke PN Jakpus karena dinilai gagal mengendalikan penyelenggaraan pinjol.