Zainab Binti Rasulullah, Teladan dalam Cinta dan Kesetiaan pada Suami

Ahad, 07 November 2021

Kesetiaan Sayyidah Zainab putri Rasulullah kepada suami yang telah lama berpisah layak kita jadikan pelajaran berharga. Foto ilustrasi/Ist

Bagi yang ingin belajar tentang cinta dan kesetiaan, sosok Sayyidah Zainab Binti Muhammad Rasulullah adalah teladannya. Kisahnya dapat dijadikan pelajaran dan lebih menginspirasi daripada kisah sinetron ataupun film-film kekinian.

Beliaulah sosok perempuan teguh dan sejati, istri paling setia terhadap suami. Zainab merupakan putri tertua dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lahir saat Rasulullah berusia 30 tahun. Simak kisahnya.

Ketika memasuki usia yang layak untuk menikah, Sayyidah Zainab dilamar oleh Halah binti Khuwailid (bibi dari ibundanya) untuk dijodohkan dengan anaknya yang bernama Abu al-'Ash bin Rabi'.

Pinangan ini diterima, dan Sayyidah Zainab pun menikah dengan Abu al-'Ash. Dari pernikahan mereka, Zainab dikaruniai dua orang anak, Ali dan Umamah. Pernikahan Zainab ini terjadi sebelum ayahnya diangkat menjadi Rasul.

Ketika Rasulullah menerima wahyu, Zainab termasuk orang yang pertama kali mengimaninya. Namun, tidak demikian dengan suaminya. Abu al-'Ash tetap sulit meninggalkan agama nenek moyangnya, hingga akhirnya tali pernikahan itu tidak dapat dipertahankan. Zainab memilih Islam, sedangkan suaminya tetap dalam kemusyrikan.

Abu al-'Ash kemudian bergabung dalam pasukan kaum Quraisy yang memerangi Rasulullah. Dalam perang Badar, Abu al-Ash tertangkap dan menjadi tawanan umat Islam. Suasana pun menjadi tegang karena menantu Rasulullah menjadi tawanan perang.

Dalam situasi seperti itu, kaum kafir Quraisy mengirimkan utusan untuk menukar Abu al-Ash dengan tawanan yang lain. Tidak ketinggalan pula Zainab, beliau juga mengirimkan kalung hadiah pernikahan dari ibunya, untuk menebus Abu al-Ash. Ia adalah suami yang paling dicintainya.

Tatkala Rasulullah melihat kalung milik Zainab yang merupakan hadiah dari ibunya (Sayyidah Khadijah Al-Kubro), hati beliau merasa iba. Lalu beliau bersabda: "Wahai kaum muslimin, jika kalian dapat melepaskan tawanan bernama Abu al-Ash ibn Rabi' serta mengembalikan tebusannya kepada Zainab, maka silakan kalian melakukannya."

Mendengar sabda Rasulullah, para sahabat kemudian menjawab: "Ya Rasulullah, kami bisa melepaskan tawanan tersebut." Abu al-Ash pun dilepaskan dan tebusannya dikembalikan kepada Zainab. Ketika dilepas, Rasulullah mengambil janji dari Abu al-Ash untuk menceraikan Zainab, dan ia boleh bersama Zainab kembali apabila ia mau memeluk Islam. Namun ternyata Abu al-Ash tetap bersikukuh pada kemusyrikannya.

Setelah dilepas, Abu al-‘Ash kembali ke Makkah. Ia merelakan Zainab untuk dikembalikan kepada ayahnya, Rasulullah di Madinah, dengan diantar Kinanah ibn Rabi' (saudara kandung Abu al-Ash ibn Rabi’). Di tengah perjalanan, di daerah Zi Tuwa, mereka dihadang oleh kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Hubar ibn Aswad dan Nafi’ ibn Abdulqais.

Hubar mendorong Zainab hingga terjatuh dari sekedup untanya. Padahal saat itu Zainab sedang hamil, hingga ia mengalami pendarahan dan kandungannya gugur.

Zainab resmi berpisah dari suaminya. Abu al-Ash berdomisili di Makkah, sedangkan Zainab di Madinah. Keduanya sangat bersedih atas perpisahan yang terjadi. Enam tahun lamanya Zainab hidup bersama Rasulullah di Madinah. Selama itu pula ia tidak pernah berhenti berdoa agar kiranya Allah berkenan melapangkan hati Abu Al-Ash untuk menerima Islam.

Sampai suatu saat pada bulan Jumadil Ula Tahun ke-6 Hijriyah, Abu al-Ash keluar untuk berdagang ke Syam. Ketika hendak kembali pulang, di tengah perjalanan ia bertemu dengan pasukan Rasulullah lalu mereka meminta semua harta yang dibawa, dan ia pun kemudian menyerahkannya.

Dengan demikian habislah semua harta Abu al-'Ash dan harta orang lain yang dibawanya. Ia tidak dapat mengembalikan amanah yang diserahkan kepadanya. Semua hartanya telah habis, sementara orang-orang yang menitipkan dagangan menunggu kepulangannya.

Dalam suasana galau, ia teringat kepada Zainab yang sangat mencintai serta setia kepada dirinya. Ia pun masuk ke Kota Madinah secara sembunyi-sembunyi pada waktu malam, dan meminta kepada Zainab untuk memberikan perlindungan kepadanya, serta menolong untuk mengembalikan hartanya.

Zainab pun memberikan perlindungan kepadanya. Beliau menunjukkan sosok perempuan sejati dan akhlak terpuji. Tak ada dendam kesumat dan kebencian bersarang di hatinya.

Ketika tiba waktu fajar, umat Islam berduyun-duyun pergi ke masjid. Rasulullah mengumandangkan takbir, dan umat Islam pun bertakbir pula bersama beliau. Tiba-tiba dari balik dinding terdengar suara, "Hai orang-orang, sesungguhnya aku telah melindungi Abu al-'Ash. Ia sekarang berada dalam perlindungan dan pengamananku." Ternyata suara itu adalah suara Zainab, putri Rasulullah.

Seusai sholat, Rasulullah langsung menghadap para jamaah seraya bersabda: "Wahai kaum muslimin, adakah kalian mendengar suara sebagaimana yang aku dengar? Sesungguhnya Zainab adalah orang yang paling pantas memberikan perlindungan kepadanya."

Kemudian Rasulullah menemui putrinya, lalu berpesan: "Wahai putriku, hormatilah kedudukan Abu al-'Ash. Sebab tidak ada jalan baginya untuk lepas begitu saja, serta dirimu sama sekali tidak halal baginya, selama ia masih musyrik."

Pada tahun ke-7 Hijriyah, Abu al-Ash datang kembali ke Madinah dalam keadaan telah memeluk Islam. Ia pergi sebagai Muhajir, yang kemudian dipersatukan kembali dengan Zainab dalam hubungan pernikahan yang Islami.

Rasulullah sangat kagum dengan kesetiaan Zainab kepada suami yang telah lama berpisah, serta telah memutuskan syahwat terhadapnya demi memenuhi perintah Allah. Namun demikian, ia tetap bersikap baik dan setia memberikan pertolongan kepadanya. Sayyidah Zainab wafat pada Tahun 8 Hijriyah dan dimakamkan di Jannatul Baqi, Madinah. Beliau telah mengukir keteladanan yang indah, yakni kesetiaan seorang istri kepada suami, ketulusan cinta dan keteguhan iman.

Referensi:
Buku "25 Perempuan Teladan" karya Hj Umma Farida Lc MA