Hasan al-Basri adalah pedagang permata sebelum menjadi seorang guru dan sufi yang terkenal. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Imam Hasan Al-Basri sebelum memutuskan bertobat dan menjadi seorang sufi didahului dengan pengalaman rohani yang menggugah hati. Kisah tentang ziarah ke makam putra seorang kaisar menjadikan Hasan Al-Basri bersumpah untuk lebih banyak beribadah.
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ berkisah pada awalnya Imam Hasan al-Basri adalah seorang penjual permata, karena itulah dia memiliki julukan sebagai Hasan si pedagang mutiara.
Imam Hasan al-Basri menjual barang-barangnya sampai ke Bizantium, dan di sana dia kenal dekat dengan para jenderal dan menteri Kaisar Bizantium.
Suatu waktu, ketika Hasan al-Basri sedang berada di Bizantium. Ia bertemu dengan Perdana Menteri untuk berbincang-bincang.
Setelah sekian lama berbincang-bincang, Perdana Menteri mengajak Hasan ke suatu tempat, dia berkata, “Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat.”
Hasan menjawab, “Terserah engkau, ke mana pun aku ikut.”
Menteri kemudian memerintahkan kepada bawahannya untuk menyiapkan kuda, satu untuk dirinya dan satu untuk Hasan al-Basri. Setelah keduanya menaiki kuda, mereka berangkat menuju ke padang pasir.
Setelah sampai, Hasan al-Basri melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium. Tenda itu diikat dengan tali sutra dan pancang-pancangnya yang menancap ke tanah terbuat dari emas. Hasan memerhatikan tenda itu dari kejauhan.
Tidak lama kemudian, datang sekelompok pasukan dengan persenjataan yang lengkap. Mereka lalu mengelilingi tenda tersebut, mengucapkan beberapa patah kata, dan lalu pergi.
Kemudian setelahnya datang para ahli filsafat dan cerdik pandai yang jumlahnya hampir mencapai 400 orang. Mereka melakukan hal yang sama dengan para prajurit sebelumnya, mengucapkan beberapa patah kata, dan lalu pergi.
Hasan al-Basri merasa sangat keheranan melihat kejadian-kejadian itu, dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, “Apa maksud dari semua ini?”
Hasan lalu bertanya kepada Perdana Menteri. Menteri kemudian bercerita, bahwa dulu Kaisar memiliki seorang putra tampan yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tidak seorang pun yang dapat menandinginya.
Kaisar sangat sayang kepada putranya itu. Namun tanpa diduga-diduga, putranya jatuh sakit. Semua tabib, semahir apa pun tidak dapat menyembuhkannya.
Di bawah tenda itulah tempat sang putra terbaring sakit, dan di tempat itu pula dia akhirnya dimakamkan. Kini, setiap tahun orang-orang datang untuk menziarahi makamnya.
Kemudian sekelompok pasukan yang tadi pergi datang kembali, mereka berkata, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga kami untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tidak sanggup kami perangi dan tidak dapat kami tentang.” Setelah berkata demikian, mereka pun pergi kembali.
Setelahnya, tibalah giliran para ahli filsafat dan cerdik pandai, mereka berkata, “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat, dan tipu muslihat.
Karena semua falsafah di atas muka bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya seperti orang-orang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami akan berusaha dengan mengajukan dalil-dalil yang tidak dapat dibantah oleh siapapun di alam semesta ini.”
Setelahnya, sama seperti sebelumnya dengan para prajurit, mereka pun pergi kembali.
Peziarah yang datang selanjutnya adalah orang-orang tua yang mulia dan perempuan-perempuan cantik yang berhiaskan emas dan permata.
Sekarang giliran para orang tua yang mulia yang datang, mereka berkata, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, maka pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini.
Akan tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikitpun tidak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia yang lemah.”
Para orang tua itu pun setelah mengucapkan kata-kata itu berlalu.
Kemudian wanita-wanita cantik yang membawa nampan berisikan emas dan batu permata datang, sambil mengelilingi tenda mereka berkata, “Wahai putra Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami akan mengorbankan diri kami sendiri dan harta kekayaan kami yang banyak ini, dan kami tidak akan meninggalkan engkau di tempat ini.
Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tidak dipengaruhi oleh harta kekayaan dan kecantikan.” Setelahnya, mereka pun juga berlalu.
Peziarah yang terakhir adalah Kaisar itu sendiri ditemani oleh Perdana Menterinya. Dia masuk ke dalam tenda dan berkata, “Wahai mata dan pelita hati ayah! Wahai buah hati ayah! Apa yang dapat dilakukan oleh ayahmu ini?
Ayah mendatangkan pasukan yang perkasa, para filsuf dan cerdik pandai, para penasihat, wanita-wanita yang cantik jelita, harta benda, dan segala kemewahan. Dan ayah sendiri juga telah datang. Jika semua ini ada faedahnya, maka ayah pasti akan mengerahkan semua daya. Tetapi malapetaka ini telah ditimpakan oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayah beserta semua yang kumiliki.
Pasukan dan pengiring ini, kekayaan dan kemewahan ini, tidak berdaya. Selamat tinggal, sampai bertemu pada tahun yang akan datang.” Setelah berkata demikian, Kaisar pun pergi.
Cerita dari Perdana Menteri ini sangat menggugah hati Hasan al-Basri. Dia tidak dapat melawan dorongan hatinya. Hasan segera bersiap-siap untuk kembali ke negerinya.
Sesampainya di Basrah, dia bersumpah bahwa dia tidak akan pernah menertawakan lagi dunia ini sebelum mengetahui dengan pasti bagaimana nasibnya nanti. Selanjutnya Hasan menenggelamkan dirinya dalam ibadah dan kesederhanaan yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun pada masanya.