Kebenaran Hari Akhir tidak dapat dibantah oleh akal. Setelah manusia mati, Allah akan membangkitkan semuanya di hari Akhir untuk diberi balasan atas amalan (baik dan buruk) manusia. Foto/Ist
Surat Al-Fatihah dijuluki Ummul Qur'an (induk Al-Qur'an) karena merupakan induk dari semua isi Al-Qur'an. Tidak ada yang menyamai keagungan surat ini sehingga di jadikan surat pembuka dari Al-Qur'an.
Surat Al-Fatihah terdiri dari 7 ayat diturunkan di Makkah. Bagi Mazhab Maliki, terdiri dari 6 ayat (tanpa basmalah). Dalam Surat Al-Fatihah, Allah mengingatkan manusia tentang Hari pembalasan, dimana tak seorang pun berkuasa pada hari itu kecuali kekuasaan-Nya.
Berikut Tafsir Al-Fatihah Ayat 4 yang wajib kita imani.
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Maaliki Yawmid-Diin
Artinya: "Pemilik hari pembalasan." (Al-Fatihah: Ayat 4)
Dijelaskan dalam Tafsir Kemenag, satu-satunya pemilik hari pembalasan dan perhitungan atas segala perbuatan (Hari Kiamat) ialah Allah 'Azza wa Jalla. Kepemilikan-Nya pada hari itu bersifat mutlak dan tidak disekutui oleh suatu apa pun.
Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: "Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang", maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu "Menguasai hari Pembalasan". Penyebutan ayat ini dimaksudkan bahwa kekuasaan Allah tak terhenti sampai di dunia saja, tetapi berlanjut sampai hari Kiamat.
Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan memanjangkan "Ma", dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, Malik artinya "Yang memiliki" (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya "Raja". Kedua bacaan itu benar.
Baik menurut bacaan pertama ataupun bacaan kedua, dapat dipahami dari kata itu arti "berkuasa" dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan "Yang menguasai". "Yaum" artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.
Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti "pembalasan". Jadi, "Maliki Yaumiddin" maksudnya "Allah lah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan."
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib (menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan "hari pembalasan" itu lebih tepat.
Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal
Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang pada hari itu diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia di masa hidupnya dan diadakan pembalasan setimpal adalah suatu yang masuk akal. Adanya hidup sesudah hidup di dunia bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga diterima oleh akal.
Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya di dunia telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Banyak orang yang telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu.
Sebaliknya, banyak penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari kemudian?
Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak.
Sebab itu sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat: "Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu."
Kepercayaan Masyarakat Arab Tentang Hari Akhirat
Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad diutus Allah sebagai Rasul.
Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: "Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan." Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:
"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS az-Zalzalah: 7-8)
Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari Akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai. Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali. (QS Hud: 7; Al-Isra': 49) dan banyak ayat lainnya.