Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa ketaatan yang baik kepada suami adalah bernilai jihad bagi perempuan. Foto ilustrasi/ist
Perintah jihad tercantum dalam Al-Qur'an, bahkan disebut berkali-kali dalam ayat-ayat suratnya. Lantas bagaimana dengan kaum wanita? Benarkah dianjurkan pula untuk berjihad? Perihal jihadnya seorang perempuan dalam Islam, sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa ketaatan yang baik kepada suami adalah bernilai jihad bagi perempuan.
Dalam kitab “Hikam Ali Ib Abi Thalib”, disebutkan bahwa "Sholat adalah upaya mendekatkan diri bagi setiap oaring yang bertakwa, haji adalah jihad bagi setiap orang yang lemah, segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya tubuh adalah puasa, dan jihadnya seorang perempuan adalah ketaatan yang baik kepada suami".
Tentang jihad wanita ini, sebuah hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika seorang wanita selalu menjaga sholat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadis ini shahih)
Hadis tersebut menerangkan bahwa wanita yang taat dalam beragama dan juga taat kepada suami akan mendapatkan hak untuk masuk surga lewat pintu manapun yang ia mau. Pahala tersebut sebanding dengan pahala mujahid yang telah gugur di medan perang pada zamannya. Untuk itu, bagi setiap perempuan yang ingin berjihad atau ingin mendapatkan pahala yang sebanding dengan jihad, maka taatlah kepada suami.
Selain itu, di era masa kini, menurut para ulama, pintu jihad bagi para perempuan masih tetap terbuka. Apalagi di zaman yang dipenuhi kehidupan yang serba keras ini. Salah satunya, mereka menempati posisi strategis untuk menjadi benteng-benteng keluarga.Di saat para suami sibuk mencari kehidupan nafkah untuk keluarga, mereka mempunyai tanggung jawab mendidik mental dan akhlak anak-anaknya agar tidak turut terseret arus yang terus menyeretnya ke tubir kehancuran. Inilah bentuk tanggung jawab kaum ibu yang tidak ringan.
Bentuk tanggung jawab ini tidak jauh beratnya dengan para pasukan yang harus menghadapi musuh secara langsung di medan peperangan. Bila kehadiran pasukan musuh dan hiruk pikuk gelombang kedatangannya mampu menggelorakan jiwa untuk melawan–pada kondisi seperti itu kita bisa menumbuhkan semangat perlawanan sebesar-besarnya. Akan tetapi musuh-musuh sekarang sudah dibungkus dan masuk dalam kemasan-kemasan menarik. Mereka masuk ke dalam sela-sela kehidupan rumah tangga dengan senjata yang menawan.
Televisi, video, media sosial tidak bisa disangkal mempunyai nilai-nilai manfaat didalamnya. Akan tetapi tingkat kemudharatannya jauh lebih besar dan berbahaya, jika kita bisa menggunakan secara tepat..
Ibu-ibu yang baik adalah mereka yang menyadari bahwa bentuk-bentuk tontotan seperti itu, kini bukan semata sebagai hiburan, akan tetapi sudah menjelma menjadi musuh. Mereka secara pelan telah menggerogoti pikiran dan hati putra-putri kita, agar mereka menjadi liar dan hidup di luar kendali agama.
Karena itu, dari rumahlah, kita kendalikan musuh agar kesewenang-wenangannya tidak terus merajalela. Dengan segala kesederhanaan kita ciptakan lingkungan yang Islami di lingkungan rumah masing masing dengan mengawal pemikiran anak-anak, mengawal mainan dan tontonan dan mengajarkan anak-anak pendidikan dan akhlak mulia, membudayakan membaca Al-Qur’an di lingkungan keluarga termasuk sholat berjamaah.
Wallahu A'lam