Imam Hasan al-Basri adalah guru para sufi. Rabiah al-Adawiyah salah sau santrinya. (Ilusrasi : Ist)
Figur Rasulullah SAW adalah manifestasi pertama sufisme. Kemudian Ali bin Abi Thalib , dan beberapa sahabat lainnya yang dikenal memiliki tingkat kezuhudan dan kesalehan yang tinggi. Pascapara sahabat, guru sufi yang legendaris adalah Imam Hasan al-Basri .
Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya berjudul Sufism menyebut di antara tokoh-tokoh sahabat paling awal yang dipertimbangkan sebagai seorang sufi adalah Abu Darda . Dia menekankan pentingnya aktivitas meditasi (tafakkur), dan meyakini bahwa ketakwaan jauh lebih penting ketimbang ibadah selama 40 tahun tapi tanpa disertai ketakwaan.
Pada diri Abu Darda ditemukan kualitas seorang sufi yang dapat dijadikan sebagai pembeda di antara anggota masyarakat yang lainnya pada waktu itu.
Tokoh lainnya adalah Abu Dzar al-Ghifari , seorang pelopor gerakan hidup sederhana yang menentang segala bentuk kemewahan. Mengenai sosok Abdu Dzar, Rasulullah pernah berkomentar, “Tak akan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.”
Sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar menentang gaya hidup mewah Gubernur Damaskus di era kekhalifahan Utsman bin Affan , yakni Muawiyah. Karena sikapnya yang dianggap terlalu keras, Abu Dzar akhirnya mesti rela hidup di pengasingan di Rabzah.
Hudzaifah bin al-Yaman juga dianggap mirip dengan Abu Dzar, dia juga menjalani kehidupan yang sederhana dan menekankan pentingnya kemurnian hati untuk mencapai kesempurnaan iman.
Di antara kisah hidupnya yang menggambarkan kesederhanaan terjadi pada saat-saat akhir hayatnya. Beberapa sahabatnya membawakan kain kafan yang baru dan agak mewah, dan Hudzaifah dengan tegas menolaknya, meminta digantikan dengan kain kafan yang jelek saja.
Khalid Muhammad Khalid dalam buku berjudul Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah menyebut menjelang wafat, Hudzaifah menggumam pelan, “Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia, tak ada keluh atau sesalku.”
Sahabat Nabi lainnya yang dianggap sebagai sufi adalah Imran bin Husain al-Khuzai. Dia datang dan menyatakan baiatnya kepada Nabi Muhammad SAW pada saat Perang Khaibar.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab , Imran ditugaskan untuk membimbing penduduk Basra, Iraq, untuk mendalami agama Islam.
Sampai akhir hayatnya pada 52 H/672 M dia tetap menetap di Basra. Di masa hidupnya di Basra, dia dianggap sebagai orang yang paling saleh dan mengabadikan diri sepenuhnya untuk beribadah dan mendidik beberapa murid.
Di antara beberapa muridnya yang memperoleh nama besar dan kemashyuran adalah Hasan al-Basri.
Tarekat Sufi
Hasan al-Basri kemudian mendirikan tarekat sufi di Basra, dan ini dianggap sebagai sumber dari semua tarekat sufi pada masa-masa selanjutnya.
Kisah kehidupannya yang paling terkenal dirangkum dalam sebuah kitab hagiografi karya Farid al-Din Attar yang berjudul Tadhkirat al-Auliya’.
Imam Hasan al-Basri juga dikenal sebagai perawi hadist-hadist Nabi dan juga sebagai penggagas ilmu kalam dalam fase perkembangan formal.
Selain itu, beliau juga dianggap sebagai bapak dari ilmu tasawuf. Berbagai macam tarekat tasawuf di masa setelahnya, dalam silsilah ikatan spiritual guru dan murid, semuanya akan bermuara kepada Hasan.
Hasan al-Basri di masa hidupnya juga dikenal sebagai seorang ahli tafsir Al-Quran dan pembicara yang sangat fasih.
Meskipun Hasan sangat ternama dan memiliki kedudukan sosial yang amat tinggi, namun dia tetap menjalani kehidupan yang suci dan zuhud sebagaimana para pendahulunya.
Dasar-dasar tasawuf yang diajarkan oleh Hasan adalah mengenai ketakutan terhadap Allah SWT (wara), dan melepaskan diri dari segala ikatan keduniawian (zuhud).
Imam Hasan al-Basri pernah mengirim surat kepada khalifah Dinasti Umayyah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz, dalam suratnya Hasan berkata, “Berhati-hatilah terhadap dunia ini dengan segala kewaspadaan; karena ia seperti seekor ular, halus saat disentuh, tetapi racunnya mematikan. Berpalinglah dari apa pun yang menyenangkanmu di dalamnya, karena hanya sedikit keuntungan yang akan engkau dapat darinya….”
Ajaran-ajaran Hasan al-Basri tidak terbatas hanya pada penyucian jiwa dari kekotoran batin, tetapi juga berbicara tentang irfan, “penglihatan” langsung terhadap Allah di surga, dan tentang pentingnya peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW.
Selain itu dia juga menganalisis berbagai tingkatan spiritual (ahval) yang banyak dikembangkan dalam Sufisme di kemudian hari, dan menekankan pentingnya meditasi (fikr) dalam kehidupan spiritual.
Seyyed Hossein Nasr mengatakan secara keseluruhan, banyak aspek mendasar tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam Hasan al-Basri, dan dia meninggalkan pengaruh yang begitu besar dan sampai hari ini masih tetap dipergunakan pada hampir seluruh tarekat sufi di dunia Islam.
Imam Hasan al-Basri bukan saja dikenal melalui karya-karya dan ucapannya, tetapi yang paling utama adalah karena dia telah mendidik begitu banyak murid dan mendirikan tarekat sufi.
Di antara seluruh muridnya, yang paling ternama adalah Rabiah al-Adawiyah, wanita suci dari kalangan sufi yang pertama kalinya mengembangkan konsep tentang cinta dan penyatuan diri terhadap Ilahi.