Napolean Bonaparte melakukan pendekatan Islam pada negara jajahannya yang berpenduduk matoritas muslim (Foto/Ilusrasi: militaryhistorynow)
Kaisar Napoleon Bonaparte adalah pemeluk agama Katolik Roma. Namun ia tercatat sebagai donatur acara Maulid Nabi di Mesir. Ini adalah bagian dari pendekatan Napoleon terhadap Islam di negeri jajahannya tersebut.
Juan Cole dalam buku berjudul Napoleon’s Egypt: Invading The Middle East memaparkan Napoleon membuktikan sikapnya dalam mendukung tradisi agama Islam ketika dia menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di daratan di sekitar Sungai Nil, Mesir.
Napoleon bahkan menggunakan pakaian lokal. Dia menyaksikan tarian Sufi, sementara itu prajurit Prancis turut berpartisipasi dengan menyalakan kembang api dan memainkan marching band. "Pada saat itu dia menjadi tamu dari Syekh al-Bakri," tutur Juan Cole.
Sejarah mencatat bahwa Napoleon menjadi penyandang dana dari acara peringatan Maulid Nabi yang meriah tersebut.
Juan Cole menceritakan pada awalnya para syaikh tidak berniat menyelenggarakan Maulid pada tahun itu karena ekonomi sedang sulit. Napoleon dengan jeli melihat peluang tersebut, dia menyumbang dana sebesar 3.000 franc Prancis.
Lantaran saking puasnya warga Mesir dengan acara tersebut, mereka menjuluki Napoleon dengan sebutan “Ali Bonaparte”, yang mengacu kepada Khalifah keempat Islam, Ali bin Abu Thalib .
Sekadar mengigatkan Napoleon dengan pasukan besarnya menginvasi Mesir pada tahun 1798, tepatnya pada 1 Juli 1798. Kala itu Napoleon Bonaparte baru berusia 28 tahun.
Di pagi hari, 400 kapal laut berlayar ke pelabuhan Mesir di Alexandria. Kapal itu menurunkan muatan tentara Prancis: 36.000 pasukan, termasuk 3.000 kavaleri, 2.000 artileri, dan ribuan staf pendukung.
Setelah menguasai Mesir, Napoleon memperkenalkan konsep sistem kenegaraan baru, dan dia juga mencoba lebih kompromistis terhadap konsep-konsep di dalam Islam.
Pendekatan kompromistis Napoleon terhadap Islam terdokumentasikan dengan baik. Dia berhasil membangun opini bahwa dia mengagumi Nabi Muhammad SAW – dia bahkan mempelajari beberapa surat dalam al-Quran dengan serius.
Sementara itu hubungannya dengan orang-orang Kristen Koptik hanya sebatas hubungan sesama negarawan. Menurut Napoleon, agama berguna selama itu dapat diterima oleh masyarakat, tetapi juga dapat berbahaya apabila mengarah ke fanatisme.
Napoleon memberikan penawaran yang sangat menarik untuk Mesir, yaitu:
1. Menghapuskan kekuasaan Ottoman (Ustmaniyah) di Mesir secara utuh.
2. Memperkenalkan struktur politik yang ditujukan untuk mengatur persoalan-persoalan internal.
3. Mempertahankan dan menghormati tradisi-tradisi Islam.
4. Menjanjikan kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik.
Untuk dapat mewujudkannya, Napoleon harus meminta bantuan dari para syaikh yang berkuasa, dan mendorong mereka untuk mengambil posisi sebagai pemerintah, agar mereka dapat membawa Mesir ke arah yang diinginkan.
Selain itu, Napoleon juga mesti melibatkan orang-orang Kristen Koptik, karena mereka sangat ahli dalam birokrasi, dan selama berabad-abad telah menyatu dalam struktur permanen pemerintahan Mesir.
Orang-orang Kristen Koptik adalah ahli tafsir Taurat dari sejak zaman Mesir Kuno. Mereka juga terkenal handal akan ilmu akuntansinya.
Mesir telah seringkali berganti kepemimpinan dari sejak era kekhalifahan, jadi, baik itu Khalifah, Gubernur, Amir, Mamluk, ataupun Pasha Turki, tidak ada satupun yang dapat bertahan tanpa bantuan dari orang-orang Kristen Koptik.
Status Mesir
Mesir telah menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman sejak tahun 1517, tetapi pada tahun 1798 tidak lagi di bawah kendali Selim III, Sultan Ottoman pada saat itu. Mesir sebaliknya, pada saat itu diperintah oleh prajurit lokal yang dikenal sebagai Mamluk. Mereka hanya membayar kesetiaan nominal kepada sultan yang berada jauh di Konstantinopel.
Orang-orang Mamluk dulunya adalah budak yang diperkerjakan untuk menjadi tentara. Namun seiring dengan berjalannya waktu mereka berhasil memenangkan kendali politik di beberapa negara Muslim selama Abad Pertengahan. Ketika di bawah pemerintahan Kesultanan Ayyubiyah, para jenderal Mamluk menggunakan kekuatan mereka untuk mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Mesir dan Suriah dari tahun 1250 hingga 1517. Nama Mamluk berasal dari bahasa Arab yang berarti “budak”.
Orang-orang Mamluk terkenal akan keberanian dan keterampilan mereka dalam menggunakan senjata. Secara turun-temurun orang-orang Mamluk mewarisi kemampuan militer, dan mereka terbiasa hidup dengan tradisi-tradisi militeristik.
Di Mesir yang tengah menjadi negara semi permanen, orang-orang Mamluk bertarung satu sama lain dalam pertarungan yang mematikan. Situasi ini benar-benar merusak kemampuan mereka untuk memerintah, karena satu demi satu penguasa Mamluk dibunuh oleh pesaing lainnya.
Pertikaian yang terjadi terus-menerus telah menyebabkan kenaikan pajak yang tinggi, yang sebagian besar ditanggung oleh para pedagang. Akibatnya, volume perdagangan menurun, dan sudah pasti laba juga ikut turun. Seakan itu tidak cukup buruk, Mesir kemudian dilanda wabah penyakit pes.
Atas situasi tersebut, pedagang Prancis yang berada di Mesir meminta bantuan kepada siapapun yang dapat membantu mereka, mereka menulis surat baik kepada Direktorat di Prancis maupun Selim III di Konstantinopel.
Napoleon berharap, dengan sedikit pesimistis, bahwa setelah beberapa dekade kekacauan dan ketidakamanan, orang Mesir akan menyambutnya sebagai pembebas mereka. Para pedagang Prancis di Mesir melihat kedatangan Napoleon sebagai jawaban atas doa-doa mereka, sementara itu, penduduk setempat justru kurang terkesan.