Gambaran kehidupan di zaman Nabi sangat bertolak belakang dengan kehidupan kita sekarang yang serba enak dilengkapi berbagai fasilitas dan teknologi. Foto/dok
Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia,
Lulusan Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suud LIPIA,
Jurusan Perbandingan Mazhab
Semua kita yang merayakan hari lahir Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pastilah dilatar-belakangi rasa cinta kepada Beliau. Padahal cinta itu perlu diuji dan dibuktikan, setidaknya kita kenal lebih dalam kepada yang kita cintai. Agar cinta kita bukan cinta buta atau cinta palsu.
Masalahnya, banyak sisi kehidupan Rasulullah yang asing dan aneh buat kita. Bukan apa-apa, perbedaan timeline antara masa beliau dengan masa kita ini terpaut 14 abad lebih.
Terlalu banyak sisi kehidupan nyata yang berbeda. Seperti apa kehidupannya? Berikut rangkumannya:
1. Makanan
Mereka tidak makan nasi seperti kita, tapi makan roti atau kurma. Buat perut kita, roti atau kurma itu cemilan, bukan makanan pokok. Habis ngembat roti, masih kepikiran nasi uduk. Kurma hanya kita makan di bulan Ramadhan pas buka puasa. Paling banyak tiga butir, jelas tidak kenyang. Sekedar geli-geliin perut doang sih.
2. Pakaian
Mekkah Madinah itu hitungannya sudah di wilayah subtropis. Ada musim panas dan musim dingin. Pakaian musim panas pasti beda dengan pakaian musim dingin. Kalau kita jelas tidak kenal kedua musim itu. Kalau ada musim-musiman di kita, adanya musim duren, musim rambutan atau paling jauh musim kawin.
3. Rumah
Rumah orang di masa kenabian itu masih amat sederhana. Kebanyakan beralaskan tanah, masuk rumah tetap pakai sendal. Kamar-kamar di dalam rumah itu biasanya tidak ada pintu dan kunci dari dalam. Paling jauh hanya dihamparkan satir saja.Maka jangan heran kalau sampai turun ayat yang mengatur waktu untuk masuk kamar.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balihg di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kamu." (QS. An-Nur: 58)
Kalau kita zaman sekarang pasti mikir, kenapa ada tiga waktu terlarang? Kenapa pintu kamar tidak dikunci saja? Jawabannya karena di masa itu kamar tidak ada pintunya, apalagi kunci.
4. WC
Yang pasti rumah di masa itu tidak ada WC nya. Jadi kalau kebelet, kudu keluar rumah dan pemukiman ke gurun pasir untuk buang hajat. Dan tidak ada kamusnya cebok pakai air. Di gurun mana ada air. Masih mending di kampung Mbah Kakung, buang hajat di kali dan air kali sekalian buat wijik.
Kalau di gurun gersang kayak gitu, mau nggak mau ceboknya pakai tiga buah batu. Seingat saya, seumur-umur belum pernah ngalamin cebok pakai batu. Rasanya kok aneh saja.
Jangan bicara listrik di masa itu. Untuk penerangan di malam hari, ada lampu minyak. Bayangkan saja lampu wasiatnya Aladin. Kita sih nyebutnya lampu teplok alias pelita.
Begitu matahari terbenam, ya sudah semua orang masuk rumah. Lepas shalat Isya' semua penduduk Madinah pun terlelap. Tidak ada kehidupan malam. Dan Nabi sendiri pun terbiasa tidur lepas shalat Isya'.
5. Kamar Mandi
Kalau untuk mandi tidak di gurun pasir, tapi di rumah masing-masing. Ada kamar mandi tapi tidak ada closetnya. Dan karena tidak setiap rumah punya sumur, maka pakai air itu hemat sekali. Maka gaya mandinya tidak jebur-jebur macam kita. Dan tidak harus mandi tiap hari pagi dan sore.
Kalau Nabi mandi, airnya hanya satu sha' alias 3,5 liter. Kalau wudhu' beliau hanya butuh satu mud, kira-kira 0,7-0,8 liter. Hermat air banget, karena tidak setiap rumah punya sumber air.
6. Masjid
Masjid Nabawi tidak ada atapnya, kecuali di bagian yang sempit memang diberi atap, tapi itu pun hanya dari daun kering. Sinar matahari pun tembus juga.Untungnya Madinah tidak kenal musim hujan kayak di kita. Kalau hujan kayak di kita, bisa jadi kolam.
Interiornya dinding kasar tanpa lukisan kaligrafi dengan ornamen bunga. Jelas tidak ada kubah apalagi tiang menara menjulang. Speaker TOA?
Ya nggak ada lah. Jadi adzan itu hanya terdengar sejauh suara Bilal apa adanya. Seberapa jauh sih lengkingan suara manusia. Lantainya pun sama juga dengan rumah mereka, hanya tanah dan pasir. Sehingga ketika ada orang dusun kencing di tengah masjid, cukup disiram seember air, semua langsung menyerap ke tanah.
Pemandangan setiap shalat lima waktu dilaksanakan, semua jamaahnya tetap pakai alas kaki. Tidak ada tempat penitipan sendal. Dan pemegang rekor sebagai masjid yang belum pernah terjadi kasus kehilangan sendal. Oh ya, Masjid Nabawi sejak zaman dulu bahkan hingga kini tidak pernah ada kotak amal ya. Catat itu.
7. Pasar
Madinah bukan kota perdagangan tapi daerah perkebunan. Tidak seperti Mekkah yang merupakan pusat perdagangan. Pasar memang ada di Madinah, tapi terbatas. Belum tentu buka tiap hari, itu pun belum tentu sehari penuh.
Bayangkan saja hari pasaran di Jawa. Pasar Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi itu hanya ramai kalau pas hari pasarannya saja. Biasanya pagi hari. Agak siangan dikit pasar pun bubar.
Jual-beli di pasar kadang tidak pakai uang, tapi pakai barang alias barter. Beli beras pakai beras, beli emas pakai emas. Pusing lah kita. Mana gak bisa bayar pakai gesek kartu. Jadi jangan membayangkan kayak pasar di masa kita, jauh berbeda dan tidak sama.Jangan bandingkan dengan mal atau marketplace online. Gak ada kayak gitu.
8. Uang
Tidak semua transaksi pakai barter. Ada juga sih yang pakai uang. Tapi asal tahu saja bahwa di masa itu alat tukar yang digunakan masih berupa koin logam. Uang kertas jelas tidak ada. Nulis ayat Qur'an saja pun bukan di atas kertas.
Ada yang terbuat dari emas dinamakan Dinar. Ada yang terbuat dari perak dinamakan dirham. Ada juga yang terbuat dari tembaga atau besi, disebut fulus.Nilainya amat bergantung pada bendanya. Dinar itu paling tinggi karena fisiknya emas. Di bawahnya ada dirham. Paling rendah adalah fulus.
Yang banyak orang tidak sadar ternyata Dinar dan dirham itu bukan produk Makkah atau Madinah, tapi produk negara lain. Dinar itu biasa digunakan orang Romawi yang Nasrani, sedangkan Dirham itu biasa digunakan orang Persia yang majusi alias menyembah api. Dan Nabi serta para shahabat tidak pernah menciptakan 'mata uang Islam'.
9. Kendaraan
Sepeda, motor, mobil, kereta, pesawat di masa itu belum ada. Kendaraan itu identik dengan unta, kuda atau keledai. Hewan-hewan itulah yang hilir mudik di kota Madinah kala itu.
Namanya juga hewan, kalau buang kotoran pasti sembarangan. Maka jalanan Madinah memang banyak kotoran hewannya. Dan kotoran hewan itu najis.
Jalan di kota Madinah beresiko nginjek najis pastinya. Tapi uniknya, ketika shalat di masjid, sendalnya tidak dilepas. Disitulah pada ulama diskusi cukup hangat dan panjang.
10. Mushaf
Sepanjang 23 tahun turun ayat Qur'an, semuanya dipastikan ditulis oleh para shabaat yang diangkat secara khusus sebagai penulis wahyu. Pokoknya dipastikan tak ada satu pun ayat yang lolos tanpa teks tulisan. Nabi sampai punya 48 orang juru tulis Wahyu. Yang paling topnya ada nama seperti Zaid bin Tsabit dan Ubah bin Ka'ab.
Namun, zaman segitu penggunaan kertas belum ada. Mungkin Tsailun di China sudah menemukan kertas sejak abad kedua masehi. Tapi belum diproduksi massal, sehingga harga kertas masih belum ergonomis. Lagian di pasar Madinah nggak ada orang jual kertas.
Maka teks ayat Qur'an itu dituliskan di kulit hewan, pelepah kurma, batu yang pipih dan kadang tulang unta yang lebar dan gepeng juga digunakan.Padahal Qur'an itu kan enam ribuan ayat. Terbayang begitu banyaknya benda yang bertuliskan ayat Qur'an dan berserakan tidak berurutan.
Sampai Nabi wafat, di zaman Abu Bakar barulah benda-benda berserakan itu disusun ulang sesuai dengan urutan ayat dan surat. Tentu semua sesuai dengan petunjuk dan praktek bacaan Nabi.
11. Iklim
Mekkah dan Madinah itu iklimnya beda jauh dengan kita. Posisinya di tengah gurun. Panasnya minta ampun, gak kuat kita hidup disana. Kalaupun hari ini banyak juga orang tinggal disana, dipastikan hidup bergantung total sama AC. Bisa lumer badan kita tanpa AC.
Saya tidak bisa membayangkan orang hidup di Madinah di masa kenabian. Kalau pas musim panas, apa yang mereka lakukan untuk menghadapi suhu udara sepanas itu. Entah lah.
Meski pun kita cinta Nabi, namun banyak sisi kehidupan beliau yang belum tentu cocok dengan kebiasaan kita. Dan untungnya kita tidak diperintah oleh Nabi untuk hidup dengan gaya dan tradisi teknis macam itu.
Jadi, kalau pun kita tidak buang hajat di gurun pasir, insyaallah kita tidak dianggap sebagai orang yang anti Sunnah. Kalau pun masjid kita gelari karpet plus garis shaf, bangun menara dan kubah, insyaallah kita tidak dianggap sesat dan hobi bid'ah. Urusan sendal hilang, anggap saja itu collateral damage. Beli lagi aja.