Pasukan bergajah Abrahah yang ingin menghacurkan Kabah harus takluk dihadang pasukan burung. (Foto/Ilusrasi: Ist)
Surat al-Fiil dimulai dengan kisah perjalanan pasukan gajah. Allah ta’ala menjelaskan:
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَٰبِ ٱلۡفِيلِ ١ أَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِي تَضۡلِيلٖ ٢ وَأَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ ٣ تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ ٤ فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٖ مَّأۡكُولِۢ
“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah –Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. [ al-Fiil/105: 1-5 ]
Allah SWT memulai suratnya dengan ayat yang mengisahkan tentang pasukan bergajah, dengan firmannya:
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَٰبِ ٱلۡفِيلِ
“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?” [al-Fiil/105: 1].
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ini merupakan nikmat yang telah Allah Shubhanahu wa ta’ala anugerahkan kepada orang-orang Quraisy yaitu tatkala Allah menghindarkan bencana atas mereka dari pasukan bergajah.
Mereka bertekad menyerang dan menghancurkan Ka’bah serta menghilangkan jejak dan semua sisa-sisa yang berkaitan dengannya. Akan tetapi Allah ta’ala membinasakan mereka semua. Akibatnya, ambisi mereka berantakan, rencananya gagal, usahanya pun tidak membuahkan hasil, dan mereka kembali dalam keadaan ketakutan dan binasa.
Pasukan bergajah tersebut adalah dari kaum Nasrani, yang pada masa tersebut merupakan agama yang mendekati keadaan paganisme yang telah mengurat dalam darah daging suku Quraisy.
Namun, dengan adanya kejadian ini seperti sebuah tanda dan sinyalemen saatnya diutus Rasulallah SAW, maka pada tahun yang sama beliau lahir berdasarkan pendapat yang valid dari kalangan para ulama, seakan-akan takdir tersebut menjelaskan:
“Wahai orang Quraisy, kami tidak menolong kalian dari tentara Habasyah tersebut karena kalian lebih baik atas mereka, bukan sebab itu, akan tetapi untuk menjaga rumah tua yang sebentar lagi akan kami muliakan, kami agungkan dan kami jadikan berwibawa dengan diutusnya utusan kami yaitu nabi yang buta baca tulis Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penutup para nabi”.
Pasukan Bergajah
Dikisahkan, Abrahah , gubernur Yaman pada waktu itu, berambisi agar manusia mau beralih melakukan haji dari Ka’bah ke negerinya. Ia lalu mewujudkan ambisinya tersebut dengan membangun sebuah gereja yang menyerupai Ka’bah.
Ia mengajak orang untuk berhaji ke tempatnya. Mendengar berita itu orang-orang Arab marah besar. Ada seorang dari kalangan mereka datang berkunjung ke gereja itu dan membuang kotoran lalu melumurkannya pada tembok gereja.
Mengetahui kejadian itu, gubernur murka besar. Begitu mengetahui perbuatan itu dilakukan orang Arab, maka dirinya memobilisasi pasukan besar dengan tunggangan gajah menuju Mekkah.
Di tengah jalan, tatkala melewati negeri Khats’am mereka dihadang oleh Nufail bin Habid al-Khats’ami bersama kaumnya. Namun, dengan mudahnya mereka dikalahkan dan dihancurkan oleh Abrahah hingga akhirnya Nufail bin Habib menjadi tawanan mereka.
Setelah itu Nufail justru dijadikan sebagai penunjuk jalan ke negeri Hijaz. Ketika Abrahah sudah mendekati kota Mekkah bersiap memasukinya, di tengah mempersiapkan gajahnya yang berbadan paling besar yang bernama Mahmud dan memobilisasi pasukannya ke arah Mekkah, datanglah Nufail dan berdiri di samping gajah itu, lalu memegang telinganya sambil membisikkan:
“Mogoklah, hai Mahmud! Kembalilah dengan benar ke tempat dari mana kamu datang, sebab, kamu kini sedang berada di negeri Allah Shubhanahu wa ta’ala yang haram“.
Kemudian dia melepaskan telinganya. Tidak lama kemudian gajah itu benar-benar mogok tidak mau berdiri. Nufail bin Habib lalu segera pergi dan berlari kencang menuju gunung dan naik ke puncaknya, menyatu bersama warga Quraiys.
Di sisi lain bala tentara bergajah kebingungan. Mereka memukuli gajahnya agar mau berdiri, namun gajah tersebut bergeming.
Mereka mencoba memukul dengan cambuk dan memasukan senjata kebagian tubuh yang lembek lalu menekannya supaya gajahnya mau berdiri, namun tetap saja tidak berhasil.
Anehnya, tatkala mereka mengarahkan gajahnya ke arah Yaman maka segera bangkit dan berjalan cepat, ketika di arahkan menuju Syam juga demikian, bangkit dan berjalan cepat, ke arah timur juga demikian, akan tetapi, ketika di arahkan menuju Mekkah, gajahnya langsung duduk.
Dalam kondisi seperti itu, Allah SWT mengirim kepada mereka burung dari arah laut, yang bagaikan layang-layang menyambar dengan berbondong-bondong, dan setiap burung membawa tiga buah batu seukuran kerikil.
Satu berada di paruhnya dan yang dua di kakinya. Tidak ada satu batu pun yang menimpa kepala mereka melainkan pasti hancur. Semua pasukan ini terkena lemparan batu tersebut, maka mereka lari berpencaran mencari jalan pulang, lalu mereka bertanya kepada Nufail supaya memberi tahu arah jalan pulang ke negerinya.
Sedangkan Nufail sudah berada di puncak gunung bersama warga Quraiys dan warga Arab lainnya. Mereka menyaksikan kejadian dan siksaan Allah SWT yang maha dahsyat atas pasukan bergajah tersebut.
Nufail pun melantunkan bait syairnya:
Tiada tempat berlari, bila Tuhan yang mengejarnya
Dan Asyram lah yang kalah, bukan yang menang
Dan kejadian itu terjadi tepatnya empat puluh tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, dan sebagian saksi mata peristiwa itu masih hidup manakala Muhammad diangkat menjadi utusan.
Kemudian Allah ta’ala menjelaskan dalam ayat kedua:
أَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِي تَضۡلِيلٖ
“Bukankah –Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?”. [al-Fiil/105: 2].
Maksudnya bukankah Allah SWT telah menjadikan tipu daya mereka serta usaha yang mereka lakukan untuk menghancurkan Ka’bah sebagai perbuatan yang tidak punya pegangan yang mengantarkan pada kebinasaan mereka?
Kemudian Allah SWT mengatakan sebab kehancuran mereka:
وَأَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ
“Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong”. [al-Fiil/105: 3].
Maksudnya sekumpulan burung yang berpencar, dan burung ini berwarna hitam dari arah lautan dengan berbondong-bondong. Pada tiap burung membawa tiga buah batu kerikil, dua batu di kakinya dan satunya lagi diparuhnya, tidaklah batu tersebut mengenai sesuatu melainkan menghancurkanya.
Selanjutnya Allah SWT menjelaskan tugas burung tadi dengan mengatakan:
تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ
“Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”. [al-Fiil/105: 4].
Para ulama tafsir ada yang mengatakan batu tersebut terbuat dari tanah yang terbakar di neraka Jahanam yang sudah diperuntukkan khusus untuk mereka dengan tertulis nama-nama kaum tersebut. Apabila batu tersebut mengenai mereka maka menembus sampai keluar dari duburnya. Ukuran batu itu seperti kerikil kecil.
Lalu Allah SWT menerangkan akhir dari perjalanan anak manusia yang sombong di muka bumi ini. Allah ta’ala berfirman:
فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٖ مَّأۡكُولِۢ
“Lalu –Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. [al-Fiil/105: 5]
Yaitu mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat lalu ulat tersebut melemparkan sisanya jatuh ke bawah. Ada yang mengatakan, maksudnya mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat sehingga tinggal batangnya.
Adapun maksud ayat secara global, bahwa Allah ta’ala menghancurkan serta memporak porandakan tipu daya yang mereka rencanakan sehingga mereka tidak mendapat keuntungan sedikit pun.
Allah ta’ala membinasakan mereka semua kecuali satu tentara yang mengabarkan pada kaumnya, namun kondisinya terluka parah seperti halnya raja mereka Abrahah.
Kondisi tentara tadi terbelah dada dan hatinya hingga ketika sampai di negerinya Shan’a dan mengabarkan kejadiannya lalu setelah itu dia pun mati.
Dua Pelajaran
Dr Amin bin Abdullah asy-Syaqawi dalam tulisannya berjudul وقفات مع سورة الفيل menyebut dua pelajaran dari surat ini:
Pertama: Inilah akhir perjalanan dari setiap orang yang menentang Allah ta’alla dan memerangi Allah SWT serta menghalalkan apa yang telah diharamkan.
Allah ta’ala menjelaskan hal tersebut dalam ayat yang lain:
وَمَن يُرِدۡ فِيهِ بِإِلۡحَادِۢ بِظُلۡمٖ نُّذِقۡهُ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ
“Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih”. [ QS al-Hajj/22: 25 ]
Di dalam sebuah hadits, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ. قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ » [أخرجه البخاري ومسلم ]
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni seorang yang zalim hingga ketika Allah menyiksanya, Dia tidak memedulikannya”.
Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَكَذَٰلِكَ أَخۡذُ رَبِّكَ إِذَآ أَخَذَ ٱلۡقُرَىٰ وَهِيَ ظَٰلِمَةٌۚ إِنَّ أَخۡذَهُۥٓ أَلِيمٞ شَدِيدٌ
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila –Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab -Nya itu adalah sangat pedih lagi keras”. [Huud/11: 102] HR Bukhari no: 4686. Muslim no: 2483.
Kedua: Kekuasaan Allah ta’alla Maha Perkasa. Dan -Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu. Allah Shubhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam ayat lain:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan -Nya apabila –Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”. [ QS Yaasin/36: 82 ].
Dalam ayat lain Allah ta’ala menjelaskan:
وَمَآ أَمۡرُنَآ إِلَّا وَٰحِدَةٞ كَلَمۡحِۢ بِٱلۡبَصَرِ
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata”. [ QS al-Qomar/54: 50 ].
Tidak ada yang menghalangi kehendak Allah ta’ala untuk melakukan segala sesuatu, Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعۡجِزَهُۥ مِن شَيۡءٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ إِنَّهُۥ كَانَ عَلِيمٗا قَدِيرٗا
“Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”. [ QS Faathir/35: 44 ]