Misteri Konspirasi Gajah Mada di Balik Terbunuhnya Jayanegara di Istana Majapahit

Senin, 11 Oktober 2021

Pegiat sejarah mendokumentasi relief-relief yang terpaut di Candi Carik. Candi ini berada dijalur pendakian menuju Puncak Pawitra. Foto/SINDOnews/Ali Masduki

TRANSKEPRI.COM, Kematian Jayanegara menggemparkan seantero Majapahit. Dia dikabarkan terbunuh oleh Tanca, seorang abdi dalem Istana Majapahit. Pembunuhan itu terjadi, usai Majapahit didera berbagai pemberontakan.
Meski Tanca menjadi tersangka utama dalam peristiwa pembunuhan pucuk pimpinan Kerajaan Majapahit, namun peristiwa itu masih diselimuti kabut misteri. Tanca sebagai pelaku utama, belum sempat diadili namun sudah tewas di tangan Gajah Mada, yang kala itu menjadi Bhayangkara dan pengawal setia sang raja.
Slamet Muljana, pada bukunya yang berjudul "Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit ". Menyebut, bara dari pemberontakan-pemberontakan yang terjadi selama masa kepemimpinan Jayanegara, masih menyisakan dendam kesumat di lingkungan kerajaan utamanya para abdi dalem seperti Tanca.
Tanca merupakan bagian dari tujuh Dharmaputra Raja atau abdi dalem, bersama Kuti, Semi, Pangsa, Wedeng, Juju, dan Banyak. Kuti dan sejumlah temannya akhirnya dibunuh karena melakukan pemberontakan kepada Jayanegara.

Para abdi dalem ini masih terus berupaya membunuh rajanya. Dari tujuh abdi dalem tersebut, masih menyisakan satu orang yakni Tanca. Selama mengabdi di dalam istana Majapahit, ternyata masih memendam ambisi membunuh raja.

Sembilan tahun pasca peristiwa Kuti, menurut Slamet Muljana, putri Tribuanarunggadewi dan Rajadewi Maharajasa yang merupakan dua putri keturunan Raja Kertanegara, tidak diizinkan menikah oleh Raja Jayanegara. Alasannya karena keduanya hendak dikawini oleh Jayanegara.
Tindakan Jayanegara ini didengar oleh Dharmaputra Tanca. Tanca pun mengadukannya kepada Gajah Mada, yang kala itu menjadi Bhayangkara. Bahkan, para jejaka dan laki-laki yang akan memperistri kedua putri tersebut, selalu dihalangi oleh Jayanegara.
Pada saat bersamaan, secara kebetulan Jayanegara menderita sakit bisul. Kondisi ini membuat Jayanegara tidak dapat keluar dari istana, dan harus selalu berbaring di atas tempat tidur. Tanca pun dipanggil untuk mengobatinya. Tanca dipercaya lantaran memiliki kemampuan mengobati penyakit.

Tanca memasuki kamar tidur untuk mengobati Jayanegara. Bengkak pada kaki raja harus dibedah, satu dua kali tidak berhasil dibedah. Raja dipersilakan mengesampingkan selimutnya, kali ketiga pembedahan bisul pada kaki sang raja berhasil dilakukan.
Namun seiring pembedahan berhasil, tikaman langsung dilakukan Tanca kepada Jayanegara. Raja Jayanegara mati akibat tikaman Tanca. Gajah Mada yang mengetahui kejadian tersebut langsung bangkit dan menusuk Tanca. Tusukan Gajah Mada, membuat Tanca mati. Kejadian pembunuhan sang raja Jayanegara tercatat pada tahun 1328 Masehi atau 1250 Saka.

Versi lainnya diungkap arkeolog Belanda N.J. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis yang dikutip Parakitri T. Simbolon dalam bukunya "Menjadi Indonesia". Disebutkan justru istri Tanca yang mengatakan telah dicabuli Jayanagara. Kabar ini membuat Gajah Mada geram, lalu balik mengadukan Tanca menyebarkan fitnah.

Masih menurut Parakitri T. Simbolon, yang mengutib N.J. Krom, justru Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan Jayanagara tersebut. Isu Jayanrgara mencabuli istri Tanca, sengaja dihembuskan Gajah Mada, untuk memperalat Tanca membunuh Jayanagara.

Tafsir kedua dari Parakitri T. Simbolon ini, juga sejalan dengan tafsir Slamet Muljana, yang menyebut Gajah Mada sebenarnya tidak suka pada Jayanegara, sehingga memperalat Tanca membunuh raja. Lalu, Gajah Mada langsung membunuh Tanca untuk menghilangkan jejak.
Konspirasi pembunuhan Jayanagara tersebut, juga diungkap Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul "Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara". Dalam bukunya, Muhammad Yamin menyebutkan, Tanca merasa tidak senang kepada raja karena membunuh Kuti.

Rasa tidak senang Tanca kepada Jayanagara yang telah membunuh Kuti, teman Tanca sesama Dharmaputera. Semakin membara, akibat kabar menggemparkan dari istri Tanca, yang menyebut telah diganggu Jayanagara. Kabar dari istri Tanca tersebut, membuat Gajah Mada memeriksa Tanca secara intensif.

Saat proses pemeriksaan berjalan, ternyata Jayanagara sakit bisul dan meminta Tanca membedahnya. Pada saat itulah Tanca melampiaskan dendamnya dengan membunuh raja menggunakan pisau. Versi lainnya menyebutkan, Jayanagara mati setelah minum racun buatan Tanca. Racun tersebut sengaja dibuat Tanca, karena adanya hasutan dari para pemberontak.

Muhammad Yamin, yang merupakan pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, membela Gajah Mada dengan menuliskan: "Di belakang lakon yang menyedihkan hati ini, terbayang pula suatu tuduhan kepada Gajah Mada bahwa dialah yang mendorong Ra Tanca berlaku demikian, karena kabarnya Sang Prabu salah lihat dan salah raba kepada istri Gajah Mada yang teguh setia itu. Namun, tuduhan ini tak beralasan dan berlawanan dengan kesetian hatinya kepada Seri Mahkota".

Terlepas dari berbagai konspirasi terhadap pembunuhan Raja Majapahit, bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tersebut, memang perangai sang raja dikenal buruk. Bahkan, Kitab Pararaton memberinya nama Kalagemet, sebagai sindiran atas perilakunya yang buruk.

Jayanagara merupakan putra mahkota hasil pernikahan Raden Wijaya, dengan istrinya dari tanah Melayu, Dara Petak. Selama memerintah Majapahit pada tahun 1309-1328, situasi di dalam negeri Majapahit penuh pergolakan dan diwarnai banyak pemberontakan.

Diduga, pemberontakan ini juga dipicu oleh ketidak senangan sejumlah petinggi Majapahit, karena rajanya keturunan Melayu. Selama menjadi raja, Jayanegara memiliki pengawal yang dikenal tangguh, yakni Gajah Mada.

Sebelum bertahta di Majapahit, Kitab Nagarakretagama menyebutkan bahwa Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Diduga, saat memerintah di Kadiri, usia Jayanagara masih sangat muda, karena ayahnya Raden Wijaya baru menikahi Dara Petak yang diduga juga bernawa Indreswari pada tahun 1293.

Selama memerintah Kadiri, Jayanegara dibantu oleh Lembu Sora. Nama Lembu Sora juga tercatat dalam prasasti Pananggungan, dengan jabatan sebagai patih Daha. Jayanegara naik tahta menjadi raja Majapahit, menggantikan posisi ayahnya yang meninggal pada tahun 1309.
Kitab Pararaton mencatat, sejumlah pengikut setia Raden Wijaya, beberapa kali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Jayanagara. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanagara naik tahta di Majapahit.
Bahkan, patih yang membantunya memerintah di Kadiri, atau Daha, Lembu Sora, turut melakukan pemberontakan pada tahun 1311. Pemberontakan ini terjadi karena hasutan Mahapati yang diduga juga musuh dalam selimut Jayanagara.

Pemberontakan berikutnya, dilancarkan oleh Nambi pada tahun 1316. Pemberontakan ini, diduga akibat ambisi ayah Nambi, Aria Wiraraja. Sebelum memberontak kepada rajanya, Nambi menjabat sebagai patih istana, namun ayahnya menginginkan Nambi menjadi raja.

Aksi pemberontakan paling dahsyat, adalah yang dilakukan Kuti pada tahun 1319. Di mana Kuti mampu menguasai istana Majapahit, hingga membuat Jayanagara lari mengungsi di Desa Badamder. Namun, berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkaranya, akhirnya pemberontakan Kuti berhasil ditumpas.
Bukan hanya menghadapi pemberontakan dari internal kerajaannya. Jayanegara ternyata juga sempat menghadapi serangan dari pasukan Mongol. Hal ini didasarkan pada kesaksian seorang misonaris Odorico da Pordenone saat mengunjungi Pulau Jawa. Upaya pasukan Mogol menjajah Jawa, berhasil digagalkan oleh pasukan Majapahit.

Usai mangkat, Kitab Pararaton menyebut, Jayanegara didharmakan dalam Candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Keberadaan gapura paduraksa Bajang Ratu, diduga sisa dari kompleks Srenggapura.
Sementara menurut Kitab Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.

Keberadaan Candi Bajang Ratu sebagai sisa tempat pendharmaan Jayanagara, hingga kini masih berdiri kokoh. Situs peninggalan Majapahit berupa bangunan struktur batu bata ini, bentuknya berupa gapura beratap mirip dengan bentuk Candi Penataran di Blitar.
Situs Candi Bajang Ratu berdiri kokoh di Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Diperkirakan, didirikan pada pertengahan abad ke-13. Beberapa versi menyebutkan, Bajang Ratu diartikan sebagai raja yang gagal. Bajang berarti batal atau bisa juga diartikan kecil atau kerdil. Sementara Ratu berarti raja.

"Candi tersebut dibangun sebagai penghormatan kepada Raja Jayanegara atau yang memiliki nama lain Kalagemet. Konon, karena Jayanegara ini memerintah dalam kurun waktu yang cukup singkat, sejak tahun 1309-1328," kata Sejarahwan Muda Mojokerto, Ayuhannafiq.

Tak heran, jika Candi Bajang Ratu memiliki mitos yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat sekitar. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ada pantangan yang tak boleh dilanggar saat mengunjungi Candi Bajang Ratu. Yakni larangan melintas tepat dari arah depan candi hingga ke belakang.

Konon, para pejabat yang datang ke lokasi tersebut, diminta untuk memutar melewati sisi kiri atau kanan bangunan candi. Jika pantangan itu dilanggar, maka kursi jabatan yang diembannya akan bergeser. Bahkan hingga pejabat tersebut tak lama akan kehilangan jabatannya tersebut.

"Mitos itu pernah dibuktikan oleh Thomas Stamford Raffles ketika menjabat Letnan Gubernur Inggris di Tanah Jawa tahun 1811. Waktu itu, ia datang ke Trowulan. Saat di Bajang Ratu, Raffles melintasi pintu candi untuk melihat bagian belakang gapura. Ia sempat diingatkan oleh warga pribumi diminta agar memutar," kata Yuhan.
Ketika itu, pribumi tersebut menceritakan kepada Raffles tentang mitos Candi Bajang Ratu yang melekat masyarakat setempat. Termasuk bercerita soal 'raja gagal' Majapahit Jayanegara yang tewas ditikam tabib istana Ra Tanca. Dimana kisah Jayanegara itu menjadi alasan yang mendasari pembuatan candi Bajang Ratu.

"Setelah dari Trowulan, Raffles kembali ke Buitenzorg tempat Letnan Gubernur Jawa berkantor. Tidak sampai setahun pasca kejadian itu, Raffles menerima surat mutasi dari atasannya di India. Ia dipindahtugaskan ke Fort de Kock, wilayah yang sekarang dinamakan Bengkulu. Raffles hanya menjabat 1811-1813," kata Yuhan.

Sumber: wikipedia
(net)