Konflik Natuna dan Klaim Laut China Selatan Bikin ASEAN Meradang

Selasa, 14 Januari 2020

Foto/Ilustrasi

TRANSKEPRI.COM. JAKARTA - Gerah akibat klaim China tidak saja menimpa Indonesia. Nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang dihubungkan dari Pulau Hainan di China daratan mengklaim wilayah laut seluas dua juta kilometer persegi di Laut China Selatan sebagai milik China. Secara otomatis, klaim tersebut telah mengambil lebih kurang 30% laut Indonesia di Natuna, 80% laut Filipina, 80% laut Malaysia, 50% laut Vietnam, dan 90% laut Brunei. Tentu klaim sepihak tersebut memicu ketegangan hubungan negara-negara ASEAN dengan China.

Salah satu negara yang bersikukuh mempertahankan teritorinya adalah Filipina. Filipina bereaksi keras atas klaim China dan melaporkan pelanggaran tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. PBB sudah memutuskan bahwa klaim perairan Natuna oleh China tidak sah. Putusan ini diambil berdasarkan kesepakatan Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Hag, Belanda.

PCA yang berada di bawah naungan PBB juga telah memutuskan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan. Ini juga berarti bahwa manuver China di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Natuna merupakan tindakan tidak patuh pada kesepakatan internasional. Secara otomatis, keputusan PCA ini juga berdampak terhadap ZEE Natuna milik Indonesia.

Sementara itu, Pemerintah Malaysia yang sebelumnya mengabaikan klaim China atas Laut China Selatan kini mulai bereaksi. Pemerintah Malaysia menyatakan akan tetap mempertahankan klaim kedaulatan di Laut China Selatan. Reaksi ini disampaikan Negeri Jiran tak lama setelah Indonesia mengirim nota protes karena kapal nelayan dan penjaga pantai China menerobos perairan Natuna.

Pemerintah Malaysia resmi mendaftarkan sengketa wilayah di Laut China Selatan kepada PBB pada 12 Desember 2019. Beijing lantas mendesak Komisi PBB untuk Batas Landas Kontinen menolak klaim Malaysia.

Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menyatakan keberatan China wajar. “Kami sudah memperkirakan China akan keberatan. Ini normal, tetapi ini adalah klaim kami dan kami akan mempertahankannya,” kata Abdullah.

Vietnam juga tidak lepas dari konflik dengan China mengenai wilayah laut. Negara ini bahkan mengecam China dengan terbuka melalui surat kabar pemerintah. “China mungkin secara tidak sengaja mendorong Indonesia untuk berpihak pada Vietnam, terutama dalam menyerukan ASEAN untuk berdiskusi tentang dokumen yang ketat dan mengikat untuk penyelesaian sengketa,” ujar pihak Pemerintah Vietnam.

Berbicara dalam sebuah konferensi di Hanoi, Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam Le Hoai Trung mengatakan negaranya lebih memilih negosiasi. Namun, mereka tetap memiliki opsi lain untuk merespons isu jalur air yang disengketakan itu. “Kami tahu bahwa langkah-langkah ini termasuk pencarian fakta, mediasi, konsiliasi, negosiasi, arbitrasi, dan tindakan litigasi,” kata Trung.

“Piagam PBB dan UNCLOS 1982 memiliki mekanisme yang cukup bagi kami untuk menerapkan langkah-langkah itu,” tambahnya, merujuk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), sebuah perjanjian internasional yang mendefinisikan hak-hak teritorial maritim.

Perselisihan negara-negara ASEAN dengan China ditengarai akan mengancam arah negosiasi kode etik (code of conduct/COC) di masa depan antara anggota ASEAN dan China. Prediksi ini disampaikan Derek Grossman, seorang analis pertahanan senior Think Tank Rand Corporation yang berbasis di Amerika Serikat (AS). “Ini juga aneh dan bahkan bodoh bagi Beijing untuk mendorong perselisihan dengan Indonesia pada tahun yang sama ketika ASEAN dan China akan menyelesaikan negosiasi panjang tentang COC di Laut Cina Selatan.” katanya kepada media, Selasa pekan kemarin. (ssb)