Jenderal Soedirman sedang melaksanakan sholat Idul Fitri di Lapangan Ikada November 1946. Foto Indonesian Press Photo Service/Arsip Nasional RI
TRANSKEPRI.COM, Sosok Panglima Besar Jenderal Sudirman sudah tak asing lagi karena merupakan salah satu pahlawan nasional . Keberhasilannya saat berpangkat Kolonel memimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memukul mundur Pasukan Tank Sekutu di Ambarawa menjadikannya sebagai Panglima TKR sekarang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Bahkan Jenderal Sudirman merupakan salah satu sosok di Indonesia yang memperoleh pangkat bintang lima atau jenderal besar.
Dimana sosok Jenderal Sudirman dikenal memiliki karomah dan kharisma saat memimpin pasukan TKR menghadapi penjajah. Kemampuannya mengolah ilmu kedigdayaan diakui sebagai salah satu kelebihannya selain itu, perhitungannya matang, tepat, dan akurat.
Dimana sang jenderal pernah berguru ke tokoh spritual Kiai Haji Busyro Syuhada seorang ulama besar yang berasal dari Banjarnegara.
Selain itu rupanya sang jenderal besar ini juga mempunyai amalan atau jimat yang selalu diandalkannya. Namun jimat yang dimaksud, bukan jimat benda seperti keris atupun tongkat. Namun yang pertama adalah dirinya selalu menjaga wudlu. Kedua, selalu shalat pada awal waktu dan ketiga ikhlas berjuang.
Anak bungsu Jenderal Sudirman, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita tentang kelebihan ayahnya itu. Teguh lahir pada 1949, ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta, dan pada saat ayahnya bergerilya.
Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan sesudah dia lahir. Teguh hanya mendengar kisah Jenderal Sudirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Satu di antara penggalan ceritanya, ketika Sudirman sampai di Gunungkidul, Yogyakarta. Sudirman tak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya.
Jika Sudirman yang dalam sakit dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka untuk jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. "Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah," kata Teguh.
Selain itu ada kisah Jenderal Sudirman yang bisa lolos dari kepungan tentara Belanda yang hendak menangkapnya saat singgah di salah satu rumah rakyat jelata di Kediri, Jawa Timur. Rupanya ada anak buah sang jenderal yang berkhianat. Sang pengkhianat itu pun membawa sejumlah tentara Belanda untuk menangkap Sudirman.
Kemudian seorang prajurit melapor kepada Jenderal Sudirman bahwa tentara Belanda telah mengepung tempat persembunyian mereka. Lalu sang jenderal yang bersahaja ini mengajak para prajuritnya untuk menggelar zikir kepada Allah SWT.
Pertolongan Allah SWT pun turun dimana ketika ditunjukkan terhadap sosok Sudirman, ketika komandan tentara Belanda itu ternyata tidak percaya dan malah memerintahkan untuk mengeksekusi dengan menembak anak buah Jenderal Sudirman yang berkhianat itu. Karena sang anak buah yang telah menjadi mata mata Belanda itu dinilai telah berbohong.
Kisah ini pun banyak diceritakan bahkan diangkat dalam film biografi "Jenderal Soedirman" yang diperankan tokoh Adipati Dolken. Selain itu kisah ini pun dijadikan sebagai Sosio Drama Perjuangan Jenderal Sudirman di perayaan HUT TNI ke-72 yang disaksikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo pada waktu itu dan Presiden Joko Widodo.
Sudirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Jawa Timur Teguh bercerita, Sudirman dan pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari.
Mau meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima Besar mengambil air dari sumur, kemudian meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum.
Pak Lurah pun mempersilahkan Sudirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan berbagai menu masakan. "Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri," kata Teguh.
Selain itu, konon ada cerita jika Jenderal Sudirman memiliki Keris Penolak Mortir. Kisahnya dimulai saat suara pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap pada suatu hari di awal Januari 1949. Lalu penduduk desa di Nganjuk, Jawa Timur, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke balik pepohonan.
Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa saja memuntahkan bom atau peluru. Tak terkecuali Jirah, perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur, seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.
Menurut dia, di rumahnya ada sembilan laki-laki asing sebagai tamu Pak Kedah (ayah angkatnya), yang dia layani makan dan minum.
Meskipun tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda.
Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. "Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur," kata Jirah.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil "Kiaine" atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu dia taruh di depannya.
Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib, keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu.
Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar mendengar bahwa orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Sudirman.
"Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini," ujarnya.
Waktu itu, Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya, tiga tahun setelah Proklamasi.
Jirah ingat, rombongan yang berjumlah 77 orang itu, datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Sudirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. "Itu berkat keris dan doa-doa," kata Jirah.
Sudirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.
Jenderal Sudirman juga memiliki keris kecil yang bernama keris cudrik. Anak bungsu Sudirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya.
Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Sudirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam.
Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Sudirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Sudirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Sudirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya.
"Cundrik itu kami titipkan di Museum Sudirman di Bintaran Timur, Yogya," ujar Teguh. "Tapi sekarang hilang."
Kepercayaan dan kegemaran Sudirman pada supranatural tak hanya saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda.
Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Sudirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. "Temuilah segera Panglima Sudirman."
Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu. Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai "orang pintar".
Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu, yang akan "memperkuat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini (saat itu).
Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. "Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara," kata Sudirman. "Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya," timpalnya.
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia.
"Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful," katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat.
Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Tapi cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Sudirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, "Gila, ini tak masuk nalar."
Sumber:
- www.indospiritual.com. (Diolah dari berbagai sumber)
- sangpencerah id